Aktivis : Revisi UU Konservasi agar beri efek jera. Begini titik lemah regulasinya
Pekanbaru (ANTARA) - Aktivis lingkungan dari Rimba Satwa Foundation (RSF) menilai pemerintah maupun DPR perlu merevisi Undang-Undang (UU) No.5 tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, agar ada efek jera bagi pelaku perburuan dan pembunuh satwa dilindungi seperti harimau dan gajah sumatera.
"Undang-undang konservasi perlu direvisi. Mungkin kalau (hukuman) 25 tahun penjara akan berikan efek jera, atau dari maksimal lima tahun diganti minimal lima tahun penjara," kata Direktur Program RSF, Zulhusni, ketika dihubungi Antara dari Pekanbaru, Senin.
Zulhusni menyatakan hal tersebut menanggapi maraknya kasus perburuan satwa dilindungi seperti gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatera (panthera tigris sumatrae).
Pada bulan November ini, dua gajah ditemukan mati di Riau dan Aceh akibat perburuan gading. Selain itu, pada awal Desember ini Polri dan Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap tiga pemburu harimau sumatera di Riau.
Baca juga: Riau butuh satgas penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia, ini sebabnya
Melihat kasus-kasus perburuan satwa dilindungi yang sampai vonis di pengadilan, lanjutnya, hukuman untuk komplotan pemburu gading hanya berkisar satu tahun untuk pemodal dan tiga tahun untuk pelaku pembunuh. Padahal, gajah yang dibunuh sudah lebih dari satu dan nilai gadingnya sangat mahal.
"Kasus penembakan gajah tahun 2015, tidak seimbang dengan apa yang didapat dengan hukuman ke pelaku. Dari sisi harga misalkan, dia melakukan pembunuhan sampai berapa ekor dan dapat gading yang bagus di Giam Siak Kecil nilainya miliaran rupiah. Tokoh atau aktor utama hanya 1 tahun (penjara) yakni Fadli, lain dengan Ari dan lainnya yang jadi ekseskutor sampai tiga tahun," ujarnya.
Merujuk pada UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi, hukuman untuk pelaku maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta, dinilai tidak berimbang untuk mendapatkan efek jera. Pelaku perburuan dengan nilai jual gading maupun harimau yang fantastis, terlalu besar dibandingkan dengan hukuman tersebut.
"Kalau melakukan perburuan dapatkan hasilnya, lalu dipenjara 3-5 tahun dan keluar penjara duit itu masih ada. Tidak berimbang dengan yang mereka peroleh, artinya tidak memberi efek jera kepada pelaku, dan mereka akan berburu lagi," ujar Zulhusni.
Selain itu, penegak hukum hanya menyita barang bukti perburuan, dan tidak menyita uang hasil dari perburuan sebelumnya.
"Penangkapan yang dilakukan Polri dan Gakkum (KLHK) adalah suatu prestasi yang perlu diapresiasi, tapi di sisi lain juga memberikan pandangan atau penilaian bahwa memang proteksi terhadap satwa masih lemah. Satu kasus terungkap, tidak tertutup kemungkinan ada kasus lain yang tidak terungkap," ujarnya.*
Baca juga: Lima pemburu harimau sumatera ditangkap, ada suami-istri pelakunya
Baca juga: Harimau sumatera berkeliaran dekat fasilitas minyak di Siak
"Undang-undang konservasi perlu direvisi. Mungkin kalau (hukuman) 25 tahun penjara akan berikan efek jera, atau dari maksimal lima tahun diganti minimal lima tahun penjara," kata Direktur Program RSF, Zulhusni, ketika dihubungi Antara dari Pekanbaru, Senin.
Zulhusni menyatakan hal tersebut menanggapi maraknya kasus perburuan satwa dilindungi seperti gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatera (panthera tigris sumatrae).
Pada bulan November ini, dua gajah ditemukan mati di Riau dan Aceh akibat perburuan gading. Selain itu, pada awal Desember ini Polri dan Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap tiga pemburu harimau sumatera di Riau.
Baca juga: Riau butuh satgas penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia, ini sebabnya
Melihat kasus-kasus perburuan satwa dilindungi yang sampai vonis di pengadilan, lanjutnya, hukuman untuk komplotan pemburu gading hanya berkisar satu tahun untuk pemodal dan tiga tahun untuk pelaku pembunuh. Padahal, gajah yang dibunuh sudah lebih dari satu dan nilai gadingnya sangat mahal.
"Kasus penembakan gajah tahun 2015, tidak seimbang dengan apa yang didapat dengan hukuman ke pelaku. Dari sisi harga misalkan, dia melakukan pembunuhan sampai berapa ekor dan dapat gading yang bagus di Giam Siak Kecil nilainya miliaran rupiah. Tokoh atau aktor utama hanya 1 tahun (penjara) yakni Fadli, lain dengan Ari dan lainnya yang jadi ekseskutor sampai tiga tahun," ujarnya.
Merujuk pada UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi, hukuman untuk pelaku maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta, dinilai tidak berimbang untuk mendapatkan efek jera. Pelaku perburuan dengan nilai jual gading maupun harimau yang fantastis, terlalu besar dibandingkan dengan hukuman tersebut.
"Kalau melakukan perburuan dapatkan hasilnya, lalu dipenjara 3-5 tahun dan keluar penjara duit itu masih ada. Tidak berimbang dengan yang mereka peroleh, artinya tidak memberi efek jera kepada pelaku, dan mereka akan berburu lagi," ujar Zulhusni.
Selain itu, penegak hukum hanya menyita barang bukti perburuan, dan tidak menyita uang hasil dari perburuan sebelumnya.
"Penangkapan yang dilakukan Polri dan Gakkum (KLHK) adalah suatu prestasi yang perlu diapresiasi, tapi di sisi lain juga memberikan pandangan atau penilaian bahwa memang proteksi terhadap satwa masih lemah. Satu kasus terungkap, tidak tertutup kemungkinan ada kasus lain yang tidak terungkap," ujarnya.*
Baca juga: Lima pemburu harimau sumatera ditangkap, ada suami-istri pelakunya
Baca juga: Harimau sumatera berkeliaran dekat fasilitas minyak di Siak