Riau butuh satgas penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia, ini sebabnya
Pekanbaru (ANTARA) - Aktivis lingkungan dari Wildlife Crime Team (WCT) meminta pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membentuk satuan tugas atau Satgas yang fokus dalam penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia di Provinsi Riau, karena terjadi eskalasi konflik yang tak terelakkan pada tahun 2019 ini.
Koordinator WCT, Osmantri, kepada ANTARA di Pekanbaru, Kamis, mengatakan untuk penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia sebenarnya sudah ada peraturan yang jadi acuan, yakni Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Namun, pedoman tersebut belum diikuti.
"Untuk penanganan konflik sendiri hingga saat ini belum terimplementasi dengan baik P.48 Tahun 2008, dimana daerah yang rawan atau potensial konflik harus bentuk satgas penanganan konflik. Nah, disini (Riau) ketika ada konflik, baru semua sibuk," kata Osmantri.
Ia mengatakan hal tersebut menanggapi konflik manusia dengan harimau sumatra (panthera tigris sumatrea) yang sudah menelan tiga korban jiwa pada tahun ini di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Akibatnya, muncul keresahan dari warga Desa Tanjung Simpang di daerah tersebut yang menyurati kepala daerah setempat agar ada kebijakan merelokasi satwa dilindungi tersebut.
Baca juga: Warga Pelangiran Riau minta pemerintah evakuasi harimau liar, begini penjelasannya
Menurut Osmantri, potensi konflik harimau dengan manusia di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) sudah terjadi selama 10 tahun terakhir. Daerah tersebut merupakan habitat asli satwa dilindungi tersebut, dengan intensitas konflik yang tinggi, sehingga semestinya sudah sedari awal menjadi perhatian pemerintah.
"Catatan saya, (sejak) 2009 saja sudah mulai 'gentayangan' harimau masuk kampung atau setidaknya wilayah kelola masyarakat, dan warga juga sudah melaporkan," ujarnya.
Hanya saja penanganan secara komprehensif untuk mencari solusi tidak pernah ada. Masalah konflik tersebut, ujar dia, mirip seperti penanganan masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau yang pembahasan seakan hilang setelah turun hujan.
"Tapi, ya, itu, (konflik harimau-manusia) sama dengan karhutla. Hilang asap, hilang pula cerita produktif untuk pengendalian karhutla," katanya.
Baca juga: Waduh, Sudah tiga warga tewas diterkam harimau sumatera di Riau
Menurut dia, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau sebagai perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di daerah, harus memperjelas kapan rencana untuk mencari solusi konflik tersebut dilakukan, melibatkan siapa dan bagaimana mekanismenya.
Osmantri menjabarkan setidaknya ada empat faktor yang perlu dicermati karena telah memicu konflik terjadi di Pelangiran maupun daerah lainnya di Riau. Pertama, tata guna dan kelola pemanfaatan hutan yang besar diduga tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kesehatan lingkungan.
Kedua, pertumbuhan kebutuhan akan hunian manusia yang semakin bertambah membuat habitat satwa semakin sempit. Ketiga, akses yang relatif mudah untuk mengakses kawasan sehingga memicu terjadinya eksploitasi hutan baik itu berupa kayu dan satwa di dalamnya.
Keempat, orientasi pengelolaan atau manajemen kawasan hutan belum komprehensif padahal sudah ada aturan yang mendukungnya.
Baca juga: Pekerja asal Aceh tewas diterkam harimau di konsesi PT RIA di Inhil
Baca juga: Soal penampakan Harimau di Siak, begini penjelasan Camat Kandis
Koordinator WCT, Osmantri, kepada ANTARA di Pekanbaru, Kamis, mengatakan untuk penanganan konflik harimau sumatra dengan manusia sebenarnya sudah ada peraturan yang jadi acuan, yakni Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Namun, pedoman tersebut belum diikuti.
"Untuk penanganan konflik sendiri hingga saat ini belum terimplementasi dengan baik P.48 Tahun 2008, dimana daerah yang rawan atau potensial konflik harus bentuk satgas penanganan konflik. Nah, disini (Riau) ketika ada konflik, baru semua sibuk," kata Osmantri.
Ia mengatakan hal tersebut menanggapi konflik manusia dengan harimau sumatra (panthera tigris sumatrea) yang sudah menelan tiga korban jiwa pada tahun ini di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Akibatnya, muncul keresahan dari warga Desa Tanjung Simpang di daerah tersebut yang menyurati kepala daerah setempat agar ada kebijakan merelokasi satwa dilindungi tersebut.
Baca juga: Warga Pelangiran Riau minta pemerintah evakuasi harimau liar, begini penjelasannya
Menurut Osmantri, potensi konflik harimau dengan manusia di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) sudah terjadi selama 10 tahun terakhir. Daerah tersebut merupakan habitat asli satwa dilindungi tersebut, dengan intensitas konflik yang tinggi, sehingga semestinya sudah sedari awal menjadi perhatian pemerintah.
"Catatan saya, (sejak) 2009 saja sudah mulai 'gentayangan' harimau masuk kampung atau setidaknya wilayah kelola masyarakat, dan warga juga sudah melaporkan," ujarnya.
Hanya saja penanganan secara komprehensif untuk mencari solusi tidak pernah ada. Masalah konflik tersebut, ujar dia, mirip seperti penanganan masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau yang pembahasan seakan hilang setelah turun hujan.
"Tapi, ya, itu, (konflik harimau-manusia) sama dengan karhutla. Hilang asap, hilang pula cerita produktif untuk pengendalian karhutla," katanya.
Baca juga: Waduh, Sudah tiga warga tewas diterkam harimau sumatera di Riau
Menurut dia, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau sebagai perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di daerah, harus memperjelas kapan rencana untuk mencari solusi konflik tersebut dilakukan, melibatkan siapa dan bagaimana mekanismenya.
Osmantri menjabarkan setidaknya ada empat faktor yang perlu dicermati karena telah memicu konflik terjadi di Pelangiran maupun daerah lainnya di Riau. Pertama, tata guna dan kelola pemanfaatan hutan yang besar diduga tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kesehatan lingkungan.
Kedua, pertumbuhan kebutuhan akan hunian manusia yang semakin bertambah membuat habitat satwa semakin sempit. Ketiga, akses yang relatif mudah untuk mengakses kawasan sehingga memicu terjadinya eksploitasi hutan baik itu berupa kayu dan satwa di dalamnya.
Keempat, orientasi pengelolaan atau manajemen kawasan hutan belum komprehensif padahal sudah ada aturan yang mendukungnya.
Baca juga: Pekerja asal Aceh tewas diterkam harimau di konsesi PT RIA di Inhil
Baca juga: Soal penampakan Harimau di Siak, begini penjelasan Camat Kandis