Malam terakhir di Desa Dayo

id banjir pekanbaru, kota berkuah, kota bertuah

Malam terakhir di Desa Dayo

Personel Tim Rescue Basarnas, polisi dan warga mengevakuasi korban menggunakan kantong mayat berisi jenazah Yeni yang meninggal akibat terseret arus banjir di Kota Pekanbaru, Selasa (18/6/2019). (Antaranews/HO-Basarnas Pekanbaru)

Pekanbaru (ANTARA) - Anton, pria berusia 30 tahun itu hanya tertunduk lesu. Matanya sembab tak berhenti mengalirkan butiran air. Dia berharap hal terburuk dalam hidupnya yang baru saja ia hadapi hanyalah sebuah mimpi.

Saat ditemui, tak banyak kata yang ia ucapkan. Dia hanya terdiam sesekali mengikuti alunan ayat suci Alquran, sayup-sayup dilantunkan oleh para pelayat, Selasa malam (18/5).

Malam itu, di sebuah rumah sederhana di Desa Dayo, Kecamatan Tandun, Kabupaten Rokan Hulu penuh sesak. Keriangan Lebaran yang baru ia lakoni bersama keluarga kecilnya sesaat sirna. Yang tersisa hanyalah duka mendalam.

Anton kehilangan belahan jiwanya, Yeni Rizki Purwati. Wanita 27 tahun yang baru menyandang status nyonya Anton itu pergi untuk selamanya, dengan cara yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Yeni ditemukan meninggal dunia saat Kota Pekanbaru dilanda banjir akibat hujan lebat yang melanda ibu kota Provinsi Riau tersebut pada Selasa pagi. Kematian Yeni cukup tragis. Dia terperosok ke dalam kanal saat jalanan di kota itu tergenang banjir.

Celakanya, kanal kecil yang berlokasi di Jalan Lobak, Kecamatan Tampan itu berarus deras. Yeni sempat hilang sebelum ditemukan sejauh dua kilometer dari lokasi ia terjatuh.

Padahal, pagi itu Yeni bermaksud mengantarkan Anton ke Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru. Anton selama ini bekerja di perusahaan perkebunan di Sampit, Kalimantan Tengah.

Selama menikah, mereka harus berpisah. Yeni tengah menyelesaikan pendidikan pasca sarjananya di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Riau. Anton berniat akan memboyong istri tercintanya itu ke Sampit sesaat setelah program magisternya selesai. Saat itu, Yeni telah menyelesaikan tesis dan hanya menunggu jadwal sidang.

Namun geruh tak berbunyi, malang tak berbau. Yeni yang bermaksud melepas kepergian suaminya justru harus pergi meninggalkan Anton untuk selamanya. Masih teringat jelas genggaman tangan terakhir Anton saat berusaha menyelamatkan istri tercintanya itu kala terperosok dan terbawa arus kanal.

Jenazah Yeni dimakamkan di kampung halaman orang tuanya, Desa Dayo, Kecamatan Tandun, Kabupaten Rokan Hulu. Dari Pekanbaru, desa itu dapat ditempuh melalui perjalanan darat sekitar empat jam lamanya.

Tak hanya Anton, kematian Yeni juga menggoreskan luka dalam bagi Darwanto (65). Bagi Darwanto, Yeni merupakan anak pintar nan berprestasi. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana Kimia, anak bungsu dari empat bersaudara itu melanjutkan magister. Cita-citanya ingin menjadi pengajar.

Meski berat, Darwanto dan Anton berusaha mengikhlaskan kepergian sosok tercintanya itu. Mereka hanya berharap, banjir yang menjadi masalah klasik di Pekanbaru tidak menimbulkan korban lain.

Banjir masalah klasik yang semakin mengusik di dua abad kota ini berdiri.

Kota Pekanbaru akan merayakan ulang tahun yang ke-235, tepat pada Minggu 23 Juni besok. Umur yang tak lagi muda untuk sebuah peradaban. Ada kehidupan yang harus dipertahankan. Bukan justru memupuskan harapan. Harapan Anton dan Yeni yang baru saja mereka rajut.

Kota yang dahulunya berasal dari Bandar Senapelan yang berada di pinggiran Sungai Siak itu kini menjelma menjadi metropolitan. Kota itu berkembang begitu pesat namun seolah tak terkendali. Perumahan, pusat bisnis menjamur bak fungi di musim hujan. Dengan mudah, izin-izin diberikan. Sementara faktor keseimbangan kota seolah terabaikan. Akibatnya banjir semakin parah dari tahun-tahun sebelumnya.

Dua abad Pekanbaru seolah malah menjadi penanda bahwa kota ini sudah renta. Yang seharusnya usia tak muda itu menjadikannya lebih berbudaya. Banjir hanya menjadi satu dari segelintir masalah kecil, justru terbiar dan menjadi liar.

Sejak satu dekade lalu, Pekanbaru kerap dijuluki sebagai Kota Berkuah, yang tidak lain plesetan dari jargon Kota Bertuah (beruntung). Kendati kini "tagline" kota terbesar di Riau itu diubah menjadi Kota Madani, namun Berkuah masih menjadi julukan populer saat musim hujan tiba.

Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Lembaga Adat Melayu (LAM) Pekanbaru, Said Usman Abdullah mengakui banjir menjadi semakin buruk, dan merata di seluruh Kota "Berkuah" itu. Puncaknya, adalah kematian Yeni, ibu muda yang harus pergi untuk selamanya.

Firdaus, Walikota Pekanbaru yang menjuluki dirinya sebagai pemimpin "visioner" dinilai Said tak mampu menyelesaikan masalah banjir. Meski telah memimpin hampir dua periode lamanya.

Saat Yeni meninggal dunia, Firdaus hanya bisa mengucapkan bela sungkawa. Tanpa merincikan langkah konkrit, apa yang harus dan akan dia lakukan. Padahal, penangan banjir menjadi salah satu janji politiknya saat dirinya memutuskan kembali bertarung pada Pilkada dua tahun lalu.

"Di luar negeri, kalau kejadian seperti ini kepala daerahnya sudah mundur. Tapi itu di luar negeri begitu, entahlah di Indonesia bisa tidak diterapkan atau tidak," kata Said.

Pengamat Tata Kota dari Universitas Islam Riau, Idham Nugraha, mengakui Pemerintah Kota Pekanbaru belum optimal dalam penanganan banjir, sehingga masalah di Ibu Kota Provinsi Riau itu menjadi makin parah, kompleks serta sulit diselesaikan secara cepat.

“Saya nilai sekarang banjir makin parah, drainase parah, dan pemerintah belum optimal dari sisi pengelolaan ruang dan perencanaan,” kata Idham Nugraha.

Dosen Teknik Perencanaan Wilayah Kota dari Universitas Islam Riau ini mengatakan, banjir di Pekanbaru tergolong banjir lokal dan luapan dari sungai. Faktor cuaca dan pengaruh perubahan iklim yang memicu musim hujan tidak menentu, tidak bisa disalahkan melainkan harus disikapi pemerintah dengan perencanaan tata kota yang memadai.

“Air tidak salah karena mengalir dari tempat tinggi ke yang rendah. Kita harus sediakan saluran-saluran yang optimal untuk alirkan air itu. Kondisi drainase banyak yang tidak optimal di Pekanbaru, contoh ketika hujan durasi tidak lama, air langsung tergenang di beberapa titik. Jadi masalah ada di drainase kita,” katanya.

Sejatinya, dia mengatakan masalah serupa hampir ditemui di setiap daerah karena pemerintah setempat tidak memiliki perencanaan drainase dan daerah serapan air untuk jangka panjang. Pembangunan drainase hanya memperkirakan periode 10 tahun ke depan, kemudian diperbaiki lagi ketika sudah parah banjirnya.

“Di negara-negara berkembang dengan sumber daya memadai, biaya dan teknologinya seperti di Belanda, perencanaan drainase maupun kanal memperhitungkan debit air sudah ratusan tahun jadi awet,” katanya.

Selain itu, ia juga mengakui ada perencanaan tata kota yang memperkecil daya serap air ke tanah seperti semenisasi trotoar. Banjir juga diperparah karena fungsi pengawasan dan penegakan hukum pemerintah daerah lemah terhadap pembangunan kota.

Ia mengatakan akibatnya pembangunan permukiman dan bangunan banyak mengokupansi kawasan daerah aliran sungai, dan pembuatan drainase oleh pihak pengembang asal jadi saja.

“Kembali lagi ini adalah peran penegakan hukum dari pemerintah daerah kurang optimal. Padahal dalam aturan sudah ada, pemerintah bisa memberikan sanksi, insentif, dan disinsentif dalam penggunaan ruang. Kembali lagi pada penegakan hukumnya,” ujar Idham.

Menurut dia, upaya jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah daerah guna menanggulangi banjir adalah dengan melakukan normalisasi sungai dan drainase, seperti di Sungai Sail dalam kurun 2000-2014 permukaan air sungai meningkat akibat pendangkalan dan perubahan fungsi kawasan lindung serta bagian hulu sungai berubah jadi permukiman dan perkebunan kelapa sawit.

“Sungai Sail terakhir kali dikeruk sekitar tahun 2000, sekarang sudah sangat dangkal,” katanya.

Kemudian, pemerintah daerah juga harus menambah daerah resapan air. Pembangunan taman kota bisa sekaligus berfungsi memperindah dan menjadi lokasi resapan air.

Selain itu, pemerintah perlu dengan tegas mengajak masyarakat berperan menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan menggiatkan gotong royong.

“Drainase juga kapasitasnya jauh berkurang karena ada endapan sedimentasi pasir dan sampah. Peran masyarakat penting untuk jaga lingkungan. Budaya gotong-royong hanya beberapa tempat saja, sekarang sudah mulai hilang. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan lagi jangan ketika banjir hanya menyalahkan pemerintah saja,” kata Idham.
Direksi PTPN V saat mengunjungi rumah duka. (Foto Antarariau/Anggi R/19)


Pemerintah Kota klaim normalisasi sungai

Pemerintah Kota Pekanbaru mengklaim rutin melakukan normalisasi bagi tiga sungai setempat sebagai upaya mencegah terjadinya banjir. Setidaknya ada tiga sungai yang diklaim jadi prioritas pemerintah sebagai lokasi pembuangan air yakni Sail, Air Hitam, dan Batak.

Ketiga sungai itu disebut terus dijaga dan diupayakan tidak mengecil agar pembuangan airnya lancar saat hujan tiba. Selain normalisasi sungai, Pemko melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga rutin membersihkan parit dan drainase di pemukiman dan kawasan perkantoran.

Justru, Pemko Pekanbaru menyatakan budaya dan pola masyarakatlah yang mengundang banjir. "Tingkat kesadaran masyarakat kurang misalkan di Jalan Garuda Sakti ada genangan air, banyak sampah," kata Kepala bagian Humas Pemko Pekanbaru, Mas Irba Sulaiman.

Sikap menyalahkan seperti itu kerap menjadi jawaban andalan pemerintah kota saat dihadapkan dengan masalah banjir. Selain sampah, Pemko juga menuding bangunan liar di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi alasan pembenaran lain.

"Misalkan Sungai Sago, Sail yang katanya ada penyempitan, Sungai Pelan, di Sukaji, Sungai Bintan Simpang Tiga konon sudah mati, ini juga diharapkan kesadaran masyarakat," tutur Mas Irba.

Selain masalah lokal, Pemko Pekanbaru juga menyebut masalah banjir harus melibatkan lintas pemerintah daerah lainnya, terutama Kabupaten Kampar.

"Jadi permasalahannya tidak cuma di hulu saja. Perlu dituntaskan di kawasan hilirnya, tapi itu ada di wilayah Kabupaten Kampar," jelasnya.

Pasca kematian Yeni, Gubernur Riau Syamsuar juga berjanji bakal membantu Kota Pekanbaru mengatasi banjir. Namun, legislator memberikan sejumlah catatan penting. Mereka menilai Pemko harus membuat perencanaan detail mengenai langkah untuk mengatasi persoalan banjir.
Tim Rescue Basarnas Pekanbaru mengevakuasi jenazah Yeni yang tewas akibat terseret arus parit yang banjir di Pekanbaru, Selasa (18/6/2019). (Antaranews/HO-Basarnas Pekanbaru)


Anggota DPRD Riau Noviwaldy Jusman mengatakan dalam upaya mengatasi persoalan banjir di Pekanbaru memang harus datang dari Walikota. Seharusnya sejak awal master plan drainase untuk Kota Pekanbaru sudah dieksekusi. Dirinya selaku Anggota DPRD Riau daerah pemilihan Pekanbaru mengaku siap untuk memperjuangkan penanganan banjir di tingkat provinsi. Apalagi saat ini sudah lampu hijau dari Gubernur untuk membantu langsung Pemkot.

Persoalan banjir, katanya, justru menjadi tolak ukur keberhasilan Walikota dalam memerintah. Maka dari itu, bisa disebut penyelesaian banjir sangat bergantung dari Walikota Pekanbaru. Ia kemudian memberi catatan kepada Pemko Pekanbaru selain pembangunan infrastruktur. Yakni pembangunan sumber daya manusia (SDM) dari masyarakat Pekanbaru agar tidak lagi membuang sampah sembarangan.

Semoga Yeni menjadi korban terakhir di ibukota salah satu provinsi terkaya di Indonesia ini.