Eco Kolonialisme Dibalik Perdagangan Karbon

id eco kolonialisme, dibalik perdagangan karbon

Pekanbaru, 17/10 (ANTARA) - Seorang pakar gambut dalam negeri berpendapat, maraknya kampanye penyelamatan lingkungan yang dibalut misi perdagangan karbon sarat kepentingan asing yang dikenal dengan "eco kolonialism".

"Perdagangan karbon yang terjadi saat ini merupakan bentuk penjajahan baru ekologi, atau yang disebut 'eco kolonialism'," ujar pakar gambut, Prof Dr Jonotoro, dalam diskusi peringatan 30 tahun Walhi, di Taman Kota Pekanbaru, Minggu.

Dosen luar biasa Universitas Lancang Kuning, Riau itu menjelaskan, negara maju telah berhasil menekan Indonesia melakukan penyelamatan hutan terutama hutan rawa gambut yang masih tersisa dengan iming-iming dana bantuan.

Dengan imbalan 1 miliar dolar AS, maka pemerintah Indonesia melakukan penandatanganan "Letter of Intent" dengan Norwegia, di Oslo, pada 26 Mei 2010 dan sepakat melakukan moratorium (penghentian) penebangan hutan .

"Itu sama saja dengan orang menumpang kencing di tempat kita, dan karena kita miskin, maka kita menerima saja perlakuan itu. Tak masalah apakah itu kotoron bau atau tidak," katanya.

Karena itu, lanjutnya, pemerintah Indonesia harus bersikap hati-hati dalam menyikapi berbagai bantuan baik dalam bentuk pinjaman atau hibah dana asing dalam perdagangan karbon.

"Jadi pemerintah harus hati-hati menyikapi bantuan asing, apalagi ternyata 60 persen hasil perdagangan karbon diberikan ke perusahaan. Sedangkan pemerintah hanya mendapatkan 40 yang dibagi masing-masing 20 persen pusat dan daerah," katanya lagi.

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Hariansyah Usman, dalam dialog itu mengutarakan, dalam sepekan terakir Riau telah menerima kunjungan negara yang tergabung dalam Uni Eropa yang membahas industri minyak sawit mentah (CPO) yang dikaitkan dengan isu perdagangan karbon.

"Harusnya pemerintah memberi perhatian khusus terhadap berbagai persoalan kehutanan di Riau, sebab Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki gambut terluas di Indonesia," katanya.