"Manisnya" Kalpataru Setelah 30 Tahun Menjaga Hutan

id manisnya, kalpataru setelah, 30 tahun, menjaga hutan

 "Manisnya" Kalpataru Setelah 30 Tahun Menjaga Hutan

Senyum Junaidi merekah ketika pria paruh baya itu gambarnya diabadikan seraya memegang replika pohon lambang kehidupan bewarna emas, Kalpataru. Wajahnya berseri, memperlihatkan lembah-lembah tajam di keningnya yang tersengat mentari.

Kalpataru yang dibalut kotak kaca itu didekapnya dengan bangga. Topi lusuh andalannya enggan dilepas untuk menutupi rambut yang mulai memutih.

Sejatinya, Junaidi tidak pernah berharap mendapat Kalpataru. Baginya, Kalpataru yang berasal dari bahasa Sanskerta dan berarti pohon kehidupan (Kalpavriksha) hanyalah bonus. Bonus atas kecintaannya menjaga hutan dan mendapat pasokan oksigen segar gratis, setiap hari sepanjang hidupnya.

Pria dengan dua anak yang berusia setengah abad itu mulai menjadi penjaga hutan sejak 1982. Meski harus hidup di luar hiruk pikuk keramaian kota, dia mengaku menikmatinya.

Selama itu pula dia terus bergerilya dari satu kawasan hutan ke lainnya. Berpacu dengan para perambah yang tidak pernah merasa puas. Tak jarang dia ditolak, bahkan diintimidasi oleh para penjahat hutan.

"Tapi saya harus hadapi itu semua. Ini karena kecintaan saya pada hutan," katanya awal pekan ini.

Junaidi merupakan pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selama 30 tahun lebih mengabdi sebagai penyuluh lapangan kehutanan, dia kini menyandang jabatan PNS Golongan III/D sebelum memasuki pensiun pada Januari 2019.

Sebagian besar masa abdinya ia habiskan di Kabupaten Kampar. Menjaga hutan-hutan lebat yang masih terjaga oleh masyarakat adat di sana. Selain itu, sejumlah kabupaten lainnya di Riau seperti Indragiri Hulu, Pelalawan, Kuantan Singingi juga pernah ia jamah, meski akhirnya kembali ke Kampar.

Junaidi mengakui menjaga hutan tak semudah menjaga anak-anaknya. Tingkat kerusakan hutan yang tinggi serta minimnya petugas seperti dirinya menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi.

Kondisi itu yang akhirnya membuat dia harus bekerja ekstra keras. Jika biasanya satu petugas hanya diberikan beban kerja menjaga satu kawasan hutan di satu kecamatan, maka tak jarang dia harus keluar dari koridor.

Itu semua dia lakukan dengan ikhlas karena kecintaannya, yang bahkan mungkin setara cintanya pada kedua anak dan istrinya.

"Jadi barangkali itu yang menjadi penilaian saya mendapat Kalpataru," ujar Junaidi yang memperoleh penghargaan Kalpataru Perintis Penyelamat Pengabdi yang diserahkan langsung oleh Menteri Siti Nurbaya di Manado, akhir Agustus 2018.

Regenerasi Penjaga Hutan

Semangat Junaidi dalam menjaga hutan memang terus berkobar, meski usianya menginjak senja. Namun, dia sadari bahwa pada waktunya dia harus istirahat.

Sementara ia juga menyadari tidak mungkin terlalu berharap dengan pemerintah untuk memunculkan figur lagi seperti sosoknya. Oleh sebab itu, dia memutar otak, mencari celah dan membuka peluang agar bisa mencari generasi penerusnya, sebelum waktu senjanya tiba.

Maka dibentuklah kelompok-kelompok tani di mana hutan masih terjaga. Membaur dengan masyarakat yang memilii kesamaan visi, dan mengubah pola pikir bagi mereka yang bertolak belakang.

Satu persatu kelompok penjaga hutan berhasil ia bentuk selama kariernya. Sebagian besar tentu berada di Kampar, namun beberapa di antaranya menyebar di sejumlah kabupaten.

Junaidi bahkan mengaku lupa berapa total kelompok masyarakat penjaga hutan yang telah ia bentuk. Namun, ia memastikan saat ini sekitar lebih dari 20 kelompok yang masih aktif.

Lantas bagaimana dia menjaga eksistensi kelompok tersebut. Jawabannya adalah meningkatkan ekonomi mereka. Tidak hanya memberikan penyuluhan, Junaidi juga melengkapi bimbingannya dengan pelatihan. Andalannya adalah menjadikan mereka sebagai petani madu, dengan budi daya lebah Trigona.

"Agar lebah tetap menghasilkan madu, tentu hutan harus dijaga. Nah itu intinya," ujarnya.

Selain itu, Junaidi juga terus berupaya mendekati masyarakat yang secara adat menjaga hutan. Dia terkagum-kagum dengan "regulasi" lokal yang berhasil menjaga hutan secara adat selama ratusan tahun.

Untuk itu, dia sangat mendukung ketika pemerintah menyatakan dukungannya untuk menjaga hutan secara adat, terutama di Kabupaten Kampar. Dia berharap perjuangan dirinya dapat diteruskan, dengan salah satunya pengakuan empat hutan adat yang kin diusulkan oleh Bupati Kampar ke KLHK.

Hutan Adat Menunggu Pengakuan

World Research International (WRI), sebuah lembaga nirlaba khusus penelitian menyatakan total 5.000 hektare hutan adat yang saat ini diusulkan untuk mendapat pengakuan KLHK. Di antaranya adalah hutan adat Imbo Putui, hutan adat Kenegarian Gajah Betalu, Batu Sanggan, Kenagarian Kuok dan Kenegarian Petapahan.

Kampar akan menjadi kabupaten pertama di Provinsi Riau jika berhasil meyakinkan KLHK untuk menerbitkan SK hutan adat.

Manager Regional WRI Sumatera, Rahmad Hidayat mengatakan Kampar akan menjadi batu loncatan besar bagi Provinsi Riau dalam penetapan hutan adat yang kini terus digesa oleh pemerintah. Sementara di Sumatera, Riau bakal menjadi provinsi ketiga yang telah menetapkan hutan adat setelah Jambi dan Sumatera Selatan jika disetujui oleh KLHK.

"Ini akan menjadi terobosan besar apabila hutan adat di Kampar diakui oleh KLHK," kata Rahmad.

KLHK terus mendorong keberadaan hutan adat sebagai bagian dari upaya pencegahan perambahan dan tentu saja kebakaran. Bahkan, keberadaan hutan adat juga mulai diakui sebagai bagian dari pencegahan perubahan iklim.

WRI menyatakan potensi hutan adat yang menyebar di sejumlah kabupaten di Provinsi Riau mencapai 300.000 haktare, dan perlu didorong untuk mendapat pengakuan dari pemerintah.

Berdasarkan pemetaan WRI, wilayah yang mempunyai potensi hutan adat dengan melibatkan kearifan lokal yang terjaga ratusan tahun lamanya menyebar di wilayah Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu.

Dia mengatakan dari ketiga kabupaten tersebut, Kampar merupakan wilayah terluas dengan potensi hutan adat yang diperkirakan mencapai 203.000 hektare. Menurut kajian WRI, keberadaan hutan dan masyarakat adat di Provinsi Riau erat kaitannya dengan kondisi geografis.