Indonesia Bukan Jadi Tujuan Utama Para Imigran Melainkan Sebagai Transit

id indonesia bukan, jadi tujuan, utama para, imigran melainkan, sebagai transit

Indonesia Bukan Jadi Tujuan Utama Para Imigran Melainkan Sebagai Transit

Istimewa

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pakar Hukum Internasional Universitas Riau Dr.Evi Deliana Zein mengatakan, Indonesia sebenarnya bukan tujuan para imigran, tapi hanya sebagai transit dan tujuan mereka negara ketiga antara lain Australia, Amerika Serikat dan Selandia Baru.

"Alasan negara-negara tersebut menjadi tujuan adalah karena Australia dan Selandia Baru merupakan negara yang bersedia menerima imigran, selain karena kondisi negara tersebut yang lebih makmur sehingga harapan untuk sejahtera menjadi lebih tinggi," kata Evi Deliana di Pekanbaru, Jumat.

Pendapat demikian disampaikannya terkait Ali (25) dan ibunya Fatimah (50), Fahiya (17) dan Zahra (6) adik perempuan Ali, serta kakak beradik Yasin (21) dan Syukria (17), yang terpaksa sudah enam bulan lebih tinggal di bahu selokan depan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), di Jalan Jendral Sudirman No 233, Pekanbaru, Riau.

Menurut Devi, khusus untuk kasus Ali dan keluarganya, serta teman-temannya, imigran tersebut masuk ke Indonesia dengan cara yang melawan hukum Indonesia yaitu masuk tanpa disertai dengan dokumen resmi, seperti passport dan visa, sehingga statusnya sebagai pendatang haram (illegal immigrant).

Ia mengatakan, para imigran tersebut umumnya berasal dari negara-negara yang sedang dilanda konflik, misalnya Afganistan, Myanmar, Irak, Srilanka dan lain-lain, sehingga untuk menyelamatkan diri mereka meninggalkan negaranya dan pergi kenegara lain yang dianggap aman dan negara tersebut bersedia menerima mereka.

"Mereka yang disebut sebagai pengungsi berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951, adalah seseorang yang karena ketakutan (yang beralasan) akan dianiaya akibat ras, agama dan kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau karena pendapat politiknya dan berada di luar negaranya, dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut tidak bersedia menerima perlindungan dari negaranya," katanya.

Akan tetapi, katanya lagi, sampai sekarang Indonesia bukan negara pihak Konvensi Pengungsi 1951, sehingga Indonesia tidak terikat dengan ketentuan dalam Konvensi Pengunsi 1951 tersebut.

"Jika sebuah negara meratifikasi atau menjadi negara pihak dalam Konvnsi Pengunsi 1951, maka imigran yang datang kenegaranya dan diberikan status sebagai pengunsi dapat menikmati hak-hak tertentu yang tertuang dalam Konvensi Pengungsi 1951, diantaranya hak untuk bekerja di negara tersebut dan hak atas akses pendidikan," katanya.

Ia menjelaskan bahwa Amnesty International dalam laporannya pada tahun 2016 menempatkan Indonesia bersama Thailand dan Rusia, sebagai negara yang tidak ramah bagi imigran, yang biasa dikenal dengan xenophobia, yaitu ketakutan akan orang asing yang dianggap mengancam.

Walaupun Indonesia bukan negara pihak dalam Konvesi Pengungsi 1951, katanya lagi, namun dalam ketentuan nasional terdapat pengaturan yang sifatnya umum, seperti dalam UUD 1945 Pasal 28G butir 2, bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

Begitupula dengan UU HAM Pasal 28, bahwa setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.

"Sampai kini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus terkait pengungsi atau pencari suaka atau orang yang dalam proses untuk medapat status pengungsi. Peraturan yang ada antara lain adalah Perpres No. 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri, Perpres ini mengatur mekanisme penananganan yang saling berkoordinasi antara Rudenim dengan pemerintah kota dan kabupaten untuk membawa dan menempatkan pengungsi kepenampungan," katanya.

Namun yang menjadi kendala, katanya menekankan bahwa imigran ilegal yang ada di sekitar Rudemin Pekanbaru, statusnya belum jelas.