Pekanbaru, (Antarariau.com) - Persoalan ketidakpastian batas-batas wilayah atau tanah adat sering kali menjadi pemicu konflik dalam rangka pemanfaatan tanah, baik oleh pemerintah maupun pihak di luar masyarakat hukum adat dikarenakan belum adanya data terkait tanah adat secara nasional.
"Masih kurangnya pemahaman terhadap perbedaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang berdimensi publik privat dan tanah ulayat yang berdimensi privat sebagai akar memahami hubungan antara masyarakat adat dengan wilayahnya maupun hubungan dengan pihak di luar kelompok masyarakat hukum adat itu sendiri. Karenanya kita ingin menghadirkan UU Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat secara komprehensif," ujar anggota DPD Riau asal Provinsi Riau Intsiawati Ayus di Pekanbaru, Jumat.
Ia yang hadir pada gelar Focus Group Discussion (FGD) uji sahih Rancangan Undang Undang tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau. FGD yang dibuka Rektor UIR Prof Dr H Syafrinaldi SH itu menyatakan Hak ulayat kewilayahan yang dimiliki masyarakat hukum adat masih terdiri dari berbagai macam peraturan yang memerlukan unifikasi agar dapat memberikan kejelasan dalam proses pelaksanaannya.
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau itu memisalkan hak ulayat yang diatur oleh Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria masih belum secara tegas mengatur tentang hak ulayat masyarakat hukum adat.
"Pengaturan tentang hak ulayat masyarakat hukum adat masih tersebar di berbagai sektor peraturan perundang-undangan dan hingga kini, belum diatur secara komprehensif. Hal ini menimbulkan berbagai masalah seperti timbulnya perbedaan penafsiran pengaturan dalam pelaksanaannya sehingga membuat perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat menjadi lemah," jelasnya.
Rektor Universitas Islam Riau Prof Syafrinaldi pada FGD itu menyatakan rancangan Undang Undang ini telah lama ditunggu masyarakat mengingat masih terjadinya pro dan kontra atas kedudukan hukum adat di tengah masyarakat.
"Walau UUD 1945 dan berbagai peraturan perundangan lain mengakui kedudukan hukum adat, namun pelaksanaannya tidak lah mudah karena posisi hukum adat yang selalu berhadapan dengan hukum positif Indonesia. Kita berterima kasih kepada DPD RI telah menginisiasi lahirnya RUU Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Semoga rancangan undang-undang ini dapat ditetapkan menjadi undang-undang," ujarnya.
Hal serupa juga ditegaskan anggota DPD lainnya Nofi Candra. Menurut Wakil Ketua Panitia Perancang UU ini, disebabkan masih terdapatnya masalah-masalah yang terkait dengan pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat ini, DPD RI berinisiatif menyusun RUU tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
"Pokok-pokok materi yang diatur dalam undang-undang ini meliputi Pengakuan dan Pengukuhan, Pemberian Hak Atas Tanah di Atas Hak Ulayat, Peralihan dan Pembebanan, Ganti Kerugian dan Hapusnya hak ulayat,'' ujar senator asal Sumbar ini.
DPD menurut Nofi berharap, dengan terbentuknya pengaturan atas hak ulayat masyarakat hukum adat dapat mewujudkan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas hak ulayatnya, serta mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum hak ulayat masyarakat adat.
FGD RUU Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ini dilaksanakan DPD RI di tiga wilayah. Wilayah Barat di UIR Pekanbaru, wilayah tengah di Pontianak dan Timur di Lombok. Anggota DPD yang hadir dalam FGD ini adalah Nofi Candra SE (Wakil Ketua Panitia Perancang UU asal Sumatera Barat), Intsiawati Ayus, SH MH (Riau), Hj Denty Eka Widi Pratiwi SE MH (Jawa Tengah), Rafli (Aceh), Herry Erfian ST (Babel), Ir H Abdul Jabbar Toba (Sultra), Riri Damayanti John Latief S.Psi (Bengkulu), Dedy Iskandar Batubara S.Sos, SH, MSP (Sumut) dan Djasarmen Purba, SH (Kepri).