Mengintip Maleo Burung Unik Dan Langka

id mengintip maleo, burung unik, dan langka

Mengintip Maleo Burung Unik Dan Langka

Palu, (Antarariau.com) - Di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang sebagian wilayahnya berada di Kabupaten Poso dan Sigi terdapat beberapa jenis satwa, termasuk di antaranya endemik Sulawesi seperti burung meleo (macrocephalon maleo).

Burung endemik itu hidup dan berkembangbiak di alam bebas pada beberapa lokasi di dalam hutan rimba kawasan TNLL, termasuk di Desa Tuva dan Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah.

Selain di desa tersebut sebaran habitat maleo bisa dijumpai di Desa Kadidia dan Kamarora, Kecamatan Nokilalaki, Kabupaten Sigi.

Dari beberapa titik keberadaan maleo, baru di Desa Saluki yang sudah dibangun sistem penangkaran alamiah burung meleo oleh pihak Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL).

Lokasi penangkaran terletak di hutan dalam kawasan Taman Nasional yang hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki atau naik sepeda motor menyusuri kebun kakao dan sungai. Kondisi jalan sangat sulit untuk kendaraan bermotor sehingga perjalanan berkendara harus berakhir di salah satu kebun masyarakat, selanjutnya harus berjalan kaki sekitar dua kilometer (2km) melintasi jalan setapak di pinggiran sungai.

Dari Desa Saluki, desa yang terletak pada poros jalan provinsi yang menghubungkan Palu, Ibu Kota Sulteng dengan sejumlah desa di Kecamatan Kulawi, lokasi ke penangkaran maleo masih berjarak sekitar tujuh kilometer (7km).

Tiba dilokasi penangkaran, mata akan langsung mendapat suguhan beberapa mata air yang terus mengepulkan uap sepanjang hari. uap tersebut berasal dari air panas di bawah permukaan tanah.

Di sekelilingnya terdapat berbagai jenis pepohonan yang tumbuh rapat dan menarik sehingga dapat memanjakan mata yang seperti tak pernah berkedip menyaksikan kekayaan dan keindahan alam tersebut.

Penangkaran meleo dibangun untuk menyelamatkan dan melindungi satwa endemik itu dari ambang kepunahan akibat sering diburu oleh oknum-oknum masyarakat yang hanya memikirkan kebutuhan ekonominya sendiri.

Padahal, maleo adalah salah satu dari sekian banyak satwa langka yang perlu dilestarikan karena selain endemik di Pulau Sulawesi, keberadaannya juga menjadi aset bagi pemerintah dan masyarakat untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.

Habitat burung maleo juga menjadi salah satu destinasi wisata alam yang menarik dan unik sehingga tidaklah heran kalau banyak wisatawan, termasuk mancanegara yang tertarik melihatnya.

Mencari telur

Su'ud, salah satu petugas yang menjaga lokasi penangkaran meleo di Desa Saluki mengatakan tugasnya setiap hari mencari telur di alam bebas untuk kemudian dibawa ke sistem penangkaran semi alami yang dibuat oleh Balai Besar TNLL sejak 1998.

Tempat penangkaran yang ada sekarang bisa menampung sebanyak 100 sampai 150 butir telur maleo, tetapi yang sedang proses penangkaran saat ini ada sekitar 50 telur.

Telur-telur maleo yang dipungut dari alam bebas setelah dibawa ke penangkaran, langsung ditanam di dalam lubang dengan ukuran tertentu seperti yang biasa dipakai oleh maleo untuk menetaskan telur di alam bebas.

Cara meletakkan telur juga harus benar, sebab jika tidak, dipastikan telur maleo tidak ada menetas sampai waktunya.

Masa penangkaran telur maleo berlangsung selama 65-95 hari. Setelah menetas, anak maleo berumur dua bulan sudah bisa dilepas ke alam bebas.

Selanjutnya, satwa itu akan hidup dan berkembangbiak di dalam hutan yang terdapat di wilayah hamparan sumber air panas.

Lokasi tempat bertelur maleo di sekitar hutan Saluki terdapat pada sembilan titik.

Maleo tidak akan bertelur tanpa ada sumber air panas, karena itu habitat maleo berada pada wilayah yang memiliki sumber air panas.

Cara penetasan telur maleopun tidaklah sama dengan burung atau unggas lain karena

burung maleo tidak mengerami telurnya. Telur-telur maleo dengan sendirinya menetas secara alami setelah jangka waktu tertentu.

Predaktor burung maleo bukan hanya binatang seperti biawak, tetapi juga manusia. Banyak orang mengincar baik burung maupun telurnya karena harganya mahal dan peminatnya banyak.

Su'ud juga mengatakan meski sudah ada penangkaran dan dijaga petugas masih ada juga orang-orang yang memburunya. Apalagi tempatnya jauh dari desa dan di dalam hutan rimba sehingga sangat memungkinkan mereka memburu satwa dan telur endemik tersebut untuk diperdagangkan.

Di Lokasi penangkaran itu tidak ada petugas yang menjaga pada malam hari karena semua petugas akan turun ke desa dan jam dinasnya hanya pada pagi sampai siang hari.

"Jadi pada pagi-pagi benar, petugas sudah harus ada di lokasi, sebab jika terlambat, biasanya sudah ada orang/masyarakat yang lebih dahulu mencari telur-telur maleo di dalam lubang.

Untuk mendapatkan telur maleo tidak sulit karena lubangnya mudah diketahui. dan pada setiap lubang pasti ada tanda cakar burung meleo.

"Kalau ada cakaran baru, itu sudah pasti ada telurnya."

Setiap lubang hanya ada satu telur maleo.

Meski masih ada masyarakat yang memburu satwa endemik tersebut, namun tinggal satu-dua orang saja. Sebelum adanya penangkaran banyak masyarakat yang mengusiknya untuk diperdagangkan.

Dengan berbagai upaya dan usaha yang dilakukan pihak Balai Besar TNLL antara lain sosisalisasi akhirnya masyarakat membentuk satu kelompok peduli maleo di Desa Tuva dan Saluki.

Kelompok peduli maleo yang terbentuk sejak 2005 ini menjadi mitra dari Balai Besar TNLL dalam hal melakukan berbagai kegiatan konservasi.

Nama kelompok itu adalah "cagar maleo". Setiap ada kegiatan mereka selalu terlibat bersama dengan Balai Besar TNLL dalam melestarikan flora dan fauna di kawasan Taman Nasional.

Data TNLL menyebutkan jumlah populasi burung maleo di alam bebas dalam di wilayah tersebut saat ini sekitar 900an ekor masing-masing jatan dan betina.

Setiap bulan ada 10-15 ekor anak maleo hasil penangkaran dilepas ke alam bebas.

Antipoligami

Salah satu keragaman spesies hewan khas ekosistem Wallacea adalah burung maleo (Macrocephalon maleo). Banyak cerita yang beredar soal burung maleo antara lain bahwa burung endemik Sulawesi ini merupakan burung antipoligami.

Keunikan lain burung maleo adalah akan pingsan bebera waktu setelah bertelur dan jika terbang pasti berpasangan.

Ada saatnya burung kepala besar itu terbang sendiri, ketika itu berarti pasangannya sudah mati. Maka bisa dikatakan maleo ini satwa monogami.

Burung maleo terlihat cantik dengan panjang sekitar 55 cm memiliki tonjolan atau jambul keras berwarna hitam dan endemik Sulawesi ini dilindungi melalui PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta termasuk dalam daftar burung dengan kategori langka dan dilindungi secara internasional (endangered oleh International Union for Conservation of Nature / IUCN) dan daftar Appendix 1 dari Konvensi Perdagangan Internasional untuk Satwa Langka dan dilindungi (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora /CITES).

Dalam Buku "Konservasi Maleo Di Sulawesi", disebutkan asal usul burung khas kawasan Wallacea ini masih belum jelas. Ada dua teori asal usulnya yaitu bahwa nenek moyang maleo berasal dari Australia dan teori kedua menyebutkan bahwa moyang maleo berasal dari Asia Tenggara sebelum tiba di Australia.

Namun persamaan kedua teori itu adalah moyang maleo telah terisolasi di Australia untuk waktu yang lama dan telah berevolusi menjadi burung yang tidak lagi mengerami telurnya sendiri.

Maleo kemudian menyebar ke Papua Nugini dan pulau-pulau di sekitar Indonesia Timur, termasuk di Sulawesi Tengah.

Kepala Balai Besar TNLL, Sudayatna mengimbau masyarakat untuk ikut menjaga dan melestarikan frola dan fauna bukan hanya di dalam kawasan Taman Nasional, tetapi hutan lainnya karena merupakan sumber kehidupan manusia.

Manusia tidak akan hidup tanpa alam. Mari bersama-sama kita jaga dan pelihara hutan dan isinya agar tetap lestari demi kelangsungan hidup manusia maupun flora dan fauna yang ada di dalamnya.

Meleo salah satu satwa endemik yang perlu terus dilestarikannya karena memiliki keunikan dan hanya hidup dan berkembangbiak di lokasi-lokasi tertentu.

TNLL sebagai pengelola Taman nasional itu, salah satu warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO menjadi Cagar Biosfer pada 1977 terus berupaya untuk melestarikannya dengan membangun sistem penagkaran sebagai solusi meningkatkan populasi meleo dari kepunahan.