Pekanbaru (Antarariau.com) - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan hingga kini pemerintah belum bisa memutuskan apakah akan menyantumkan aliran kepercayaan dalam kartu tanda penduduk elektronik atau E-KTP, meski tetap menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
"Ini harus disikapi dengan hati-hati," kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Camat Wilayah Indonesia Bagian Barat, di Kota Pekanbaru, Kamis.
Ia menyatakan pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa menganut agama maupun kepercayaan adalah hak asasi manusia. Meski begitu, ia menilai kepercayaan bukanlah agama, dan yang diakui dalam UU Administrasi Kependudukan hanya enam agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu.
"Menurut undang-undang yang ada, kepercayaan bukan agama," katanya.
Karena itu, Tjahjo mengatakan Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Kemdikbudnas), Kejaksaan Agung Muda Bidang Intelejen perihal ada berapa aliran kepercayaan yang ada, dan mana yang sah dan yang sesat.
"Kita tanya dulu ke majelis agama yang ada bentuknya bagaimana. Jangan kita ambil kesimpulan sendiri, tulis nama alirannya. Aliran itu banyak, mungkin ada 300-an," ujar Tjahjo sambil meminta semua pihak sabar menunggu ketetapannya dari pemerintah.
Sebelumnya, Amar putusan MK pada awal November 2017 mengabulkan seluruh permohonan uji materi Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan yang diajukan oleh empat orang warga negara Indonesia yang menganut aliran kepercayaan.
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan menyatakan kata "agama" dalam pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".
"Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," ujar Arief sebelum mengetuk palu hakim.
Gugatan uji materi dilayangkan para Pemohon, yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Mereka mendalilkan bahwa pasal a quo bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum.
Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan bahwa KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan, sehingga dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terkait dengan dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat keberadaan pasal a quo bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan dengan terbangunnya pusat data kependudukan secara nasional yang valid.
"Upaya melakukan tertib administrasi kependudukan sebagaimana dimaksud pada pasal a quo sama sekali tidak boleh mengurangi hak-hak warga negara dimaksud termasuk hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra ketika membacakan pertimbangan Mahkamah.
Mahkamah menegaskan bahwa penganut aliran kepercayaan juga harus tetap dilayani dan dicatat dalam pusat data kependudukan.
"Hal tersebut semata-mata penegasan tentang kewajiban negara untuk memberikan pelayanan kepada setiap warga negara sesuai dengan data yang tercantum dalam database kependudukan yang memang merupakan tugas dan kewajiban negara," tambah Saldi.
Oleh sebab itu Mahkamah menilai dalil Pemohon yang menyatakan bahwa kata "agama" dalam pasal-pasal a quo beralasan menurut hukum.
"Karena hal ini bertentangan dengan prinsip atau gagasan negara hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai termasuk kepercayaan," kata Saldi.