Nasib Kopi Liberika Meranti Dalam Ancaman Abrasi

id nasib kopi, liberika meranti, dalam ancaman abrasi

Nasib Kopi Liberika Meranti Dalam Ancaman Abrasi

"abrasi atau erosi pantai di daerah itu dalam setahun telah mencapai 15 meter"





Pekanbaru (Antarariau.com) - Bila di Jakarta saat ini sedang terjadi pro dan kontra soal reklamasi laut dengan membentuk daratan baru di seberang pantai, sebaliknya justru terjadi di Kepulauan Meranti, Riau, yakni pesisir pantainya terus tergerus abrasi akibat gelombang laut.

Demikian juga perhatian publik begitu tinggi menyoroti reklamasi Teluk Jakarta, sampai banyak komentar dari kementerian terkait. Tapi abrasi di Meranti yang juga mengancam perkebunan kopi varietas liberika, belum banyak mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan.

Sekretaris Badan Pengelolaan Perbatasan Daerah Kepulauan Meranti, Muhammadiah mengaku, abrasi atau erosi pantai di daerah itu dalam setahun telah mencapai 15 meter.

"Ini karena Meranti terletak di jalur pelayaran internasional Selat Malaka. Pada musim tertentu, arus selat ini kekuatannya cukup besar. Jalur ini dikenal cukup sibuk," katanya.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) setempat pada 2014 menyebutkan, abrasi terjadi di wilayah pesisir terutama bagian terluar seperti di tiga pulau yakni Merbau, Padang dan Rangsang dengan total 1.956 hektare.

Dari ketiga pulau tersebut, erosi pantai paling parah terjadi di Pulau Rangsang mencapai 1.427 hektare meliputi panjang pantai 73,51 kilometer dengan lebar 355 meter.

Padahal Pulau Rangsang terkenal sebagai penghasil kopi liberika. Tapi abrasi telah menyebabkan intrusi air laut masuk ke daratan, sehingga kadar garam air bawah tanah di daerah ini makin tinggi.

"Terakhir kita dapat data tahun 2014, intrusi air laut telah menyebabkan matinya tanaman kopi seluas 135 hektare atau 11,5 persen dari luas total kebun di Desa Kedabu Rapat, Rangsang Pesisir 1.175 hektare. Belum lagi tanaman lain," ucap Kadishutbun Kepulauan Meranti, Mamun Murod.

Padahal, saat ini petani kopi di Meranti sedang menikmati hasil tanamannya karena produk mereka sedang "naik daun", terutama para penikmat kopi di negeri jiran Malaysia.

Liberika punya cerita

Tahun 1980-an, nama Meranti mulai dikenal sampai negeri jiran Malaysia sebagai penghasil varietas kopi jenis liberika.

Awalnya, bibit kopi tersebut dibawa masuk oleh tiga orang tetua di kepulauan ini, sebagai buah tangan pada tahun 1979 usai mengunjungi wilayah Batu Pahat, Johor, Malaysia.

"Itu makanya, warga di negeri jiran lebih suka kopi Meranti, jika dibanding pasar dalam negeri sendiri," papar penampung kopi liberika, Romadani.

Asal liberika di Meranti secara umum berbeda dengan wilayah lain di Indonesia seperti Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa dan Kalimantan.

Sejarah mencatat, Belanda membawa kopi liberika masuk ke Indonesia abad ke-19 dari Liberia, Afrika Barat, sebagai pengganti tanaman kopi arabika yang rusak parah akibat serangan hama dan penyakit.

Rita Harni, peneliti di Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian menyebutkan, liberika di Meranti termasuk tahan terhadap penyakit karat daun.

Suatu penyakit paling ditakuti oleh petani kopi, sebab bisa mematikan tanaman dan berakibat turunnya produksi hingga 25 persen serta tanaman menjadi rusak mencapai 58 persen.

"Kopi ini lebih tolerans terhadap serangan penyakit, dan dapat beradaptasi dengan baik pada lahan gambut di Meranti," terang Rita.

Nyoto (53), petani kopi di Rangsang Pesisir mengaku, kopi dari Meranti justru lebih populer di Malaysia karena aromanya menusuk hidung. Sebab, liberika Meranti diproduksi secara organik.

Oleh karena itu, permintaan kopi liberika Meranti terus meningkat setiap tahun.

"Kini terdapat ratusan kepala keluarga di Bina Sempian, menggantungkan hidupnya dari tanaman kopi. Rata-rata mereka punya kebun kopi lebih dari satu hektare," tuturnya.

Solehudin, petani kopi di Rangsang Barat menambahkan, liberika milik petani tumbuh subur, meski ditanam pada lahan gambut.

"Dalam sebulan, kami bisa kirim tiga hingga lima ton ke Malaysia. Itu, kalau musim panen raya. Pengiriman dalam bentuk green bean (biji kopi kering)," terangnya.

Harga pasaran kopi liberika Meranti di Malaysia, berkisar 14 sampai 16 ringgit per kilogram atau Rp44.800 hingga Rp51.200 per kilogram untuk green bean dengan kurs Rp3.200.

Sementara di tingkat petani sekitar Rp35 ribu per kilogram dalam bentuk grean bean campuran, dan untuk kopi kelas satu seharga Rp70 ribu per kilogram.

"Tapi masalahnya sekarang, luas kebun kopi terus menyusut akibat intrusi. Seperti tahun lalu, berkurang sekitar 200 hektare dari 700 hektare," terang Soleh.

Liberika antarbupati

Bupati Kepulauan Meranti Irwan Nasir usai mendapatkan sertifikat indikator geografis yang diserahkan Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly tahun ini mengaku, memberi dukungan penuh bagi perluasan tanaman kopi di daerahnya.

"Diharapkan kopi ini tak hanya di Rangsang saja, tapi daerah lain di seluruh pulau-pulau di Meranti. Ke depan, Meranti akan jadi pengekspor kopi terbesar berkualitas terbaik dan cita rasanya berbeda," bebernya.

Sertifikat indikator geografis didapat oleh bupati, setelah kopi liberika dianggap sebagai hasil pertanian terbaik oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Nasional.

"Ini, patut kita syukuri. Kedepan, kita perlu terus kembangkan liberika Meranti sebagai salah satu tanaman kopi cukup potensial di Tanah Air. Perlu kerjasama petani dan pelaku usaha," ucap Irwan.

Bupati mengklaim, sejumlah investor baru melirik kopi liberika di Meranti, namun belum tanamkan modalnya bagi pengelolaan varietas ini.

Otomatis pernyataan bupati ini, seakan melupakan masalah dasar dihadapi petani kopi sendiri yakni abrasi dan intrusi, sehingga kian mengancam keberlangsungan perkebunannya.

Erosi pantai bukanlah masalah baru di Meranti. Pembabatan hutan bakau untuk diolah menjadi kayu arang dengan tujuan diekspor seperti ke Singapura, Malaysia, dan Thailand telah berlangsung lama.

Di tahun 2011, masalah ini pernah mencuat ke publik karena luas daratan Pulau Topang di Meranti berkurang menjadi 3.500 hektare dari sebelumnya 4.200 hektare akibat terkikis.

"Hutan bakau yang tadinya difungsikan menahan laju abrasi, perlahan mulai punah dan rusak, akibat minimnya kesadaran warga sekitar untuk merawatnya," terang Kepala Badan Lingkungan Hidup Kepulauan Meranti, Bambang Suprianto, ketika itu.

Pemerintah kabupaten setempat berulang kali mengaku anggaran terbatas. Tetapi setelah didesak legislatif Meranti, akhirnya berjanji memperbaiki kebun kopi dengan pemasangan pintu klep di tahun 2017.

Lembaran rencana kerja Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau di 2017 menyebut, tiga jenis tanaman rakyat di Kepulauan Meranti menjadi prioritas yakni kelapa, karet dan sagu.

"Kalau tidak diusulkan oleh kabupaten bersangkutan, maka tidak mungkin kita anggarkan," ucap Kepala Disbun Provinsi Riau, Ferry Ernaputra.

Yakni peremajaan kebun kelapa 150 hektare, lalu peremajaan kebun karet dengan lahan tanaman 100 hektare, perluasan dan pembangunan kebun sagu masing-masing 2.103 hektare dan 250 hektare.

"Informasi yang kita dapat, APBD Meranti sudah anggarkan. Dan kopi di Meranti ini, dapat bantuan APBN untuk perluasan kebun dan pengolahan mutu kopinya," katanya.

"Tetapi, bukan untuk masalah intrusi air laut," tegas Ferry.

Pelibatan petani kopi menjadi suatu keharusan dalam memperbaiki intrusi air laut untuk membagun tanggul penahan, lalu saluran air atau parit/kanal dan pintu klep yang ketiganya harus berfungsi baik.

Masyarakat sekitar harus dilibatkan dengan mengambil peran mengurangi laju abrasi seperti menanam bakau lewat bantuan APBD atau APBN. Jika mengandalkan pemerintah saja, pasti tak efektif tanpa bantuan warga setempat.