Paris (Antarariau.com) - Mingguan satir Prancis Charlie Hebdo menerbitkan edisi khususnya Rabu ini atau setahun setelah penembakan esktremis militan terhadap staf redaksinya, dan edisi khusus ini memicu protes dari Vatikan karena sampulnya melukiskan sindiran terhadap Tuhan yang biasa digambarkan miring oleh mingguan kontroversial ini.
Edisi khusus ini menampilkan karikatur Tuhan berjenggot dan berlumur darah dengan mengenakan sandal dan menyandang senapan Kalashnikov yang talinya tersampir ke bahunya di atas tulisan: "Setahun sudah: pembunuh masih berkeliaran."
Vatikan mengkririk sampul majalah itu karena tidak menghormati orang-orang beriman yang meyakini keberadaan Tuhan, apa pun agamanya.
"Di balik bendera kebohongan dari sekularisme yang tidak kompromistis, mingguan itu kembali melupakan apa yang berulang kali ditegaskan para pemimpin agama, menolak kekerasan atas nama agama --dengan menggunakan karikatur Tuhan untuk menjustifikasi kebencian-- adalah hujatan sejati, sebagaimana Paus Fransiskus telah katakan berkali-kali."
Sampul provokatif itu adalah khas mingguan sangat sekuler yang karikatur Nabi buatannya telah membuat marah muslim seluruh dunia dan memicu serangan berdarah ke kantor pusatnya 7 Januari tahun silam.
Delapan staf Charlie ditembak mati oleh Said dan Cherif Kouachi bersaudara.
Teror semacam itu kemudian terulang pada November lalu ketika 130 orang tewas oleh serangkaian serangan teror di Paris, demikian AFP.
Berita Lainnya
Makna "kecaman" dan isu boikot produk Prancis
01 November 2020 8:22 WIB
Charlie Hebdo Dinilai Menghina Korban gempa Prancis
13 September 2016 15:39 WIB
Charlie Hebdo Kembali Hina Islam, Ini Reaksi Menag RI
03 April 2016 21:42 WIB
Penyerang Charlie Hebdo Dimakamkan Dengan Pengamanan Ketat
18 January 2015 23:25 WIB
Empat Tewas, 45 Cedera Protes Kartun Charlie Hebdo
17 January 2015 5:52 WIB
Aljazair Lepas Kepergian Mustapha, Editor Charlie Hebdo
16 January 2015 19:54 WIB
Perlukah Charlie Hebdo Belajar Kerukunan Di Indonesia ?
15 January 2015 15:35 WIB
Iran Kecam Kartun Baru Charlie Hebdo
14 January 2015 17:19 WIB