Lhokseumawe, (Antarariau.com) - Din Minimi, kelompok bersenjata yang dicari-cari aparat keamanan, akhirnya turun gunung atau menyerahkan diri kepada pihak keamanan pada akhir tahun 2015.
Turunnya kelompok bersenjata tidak sekadar menyerah begitu saja, tapi ada syarat yang harus dilakukan Pemerintah Aceh, antara lain kesejahteraan rakyat Aceh, khususnya para janda korban konflik.
Pimpinan kelompok yang memiliki nama lengkap Nurdin Ismail atau yang lebih dikenal dengan julukan "Din Minimi" adalah mantan kombatan GAM pada masa konflik.
Pada penghujung tahun 2014, kelompok Din Minimi mulai santer dibicarakan media. Dengan penampilan kelompoknya yang menenteng senjata, tentu saja hal itu sangat bertentangan di mata aparat penegak hukum bila warga sipil memegang senjata api.
Genderang penegakan hukum pun berlanjut, polisi menjadikan kelompok Din Minimi sebagai target operasi karena dianggap telah melakukan serangkaian aksi kriminal di Aceh. Namun Din Minimi membantah melakukannya.
Tujuannya mengangkat senjata semata-mata untuk menuntut keadilan dari Pemerintah Aceh yang dianggap telah melupakan sisa-sisa kepedihan akibat masa konflik.
Tetap saja, kelompok ini diburu oleh pihak kepolisian. Bahkan sempat terjadi beberapa kali rentetan letusan senjata diberbagai tempat antara aparat penegak hukum dengan kelompok Din Minimi. Korban pun berjatuhan, beberapa anggota Din Minimi pun tewas dihantam timah panas polisi.
Namun selama perburuan tersebut, tetap saja pimpinan kelompok Din Minimi, tidak berhasil ditemukan oleh aparat polisi. Bahkan aparat kepolisian semakin mengintesifkan pencarian terhadap pimpinan kelompok tersebut. Kelompok Din Minimi juga kerap berpindah-pindah tempat di pedalaman Aceh Timur dan Aceh Utara, sehingga menyulitkan pihak kepolisian dalam menguber kelompok tersebut.
Namun beberapa anggota kelompok tersebut, berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian. Bahkan beberapa diantaranya tertembak, baik dalam kontak tembak maupun dalam penyergapan.
Akhirnya, secara mengejutkan di penghujung tahun 2015, tepatnya pada tanggal 28 Desember 2015, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen TNI (Purn) Sutiyoso mendatangi lokasi persembunyian Din Minimi dan anggotanya.
Proses penjemputan Din Minimi beserta anggotanya itu, mengejutkan banyak pihak. Proses yang berlangsung sunyi senyap itu, hanya diketahui secara terbatas. Keesokannya pada 29 Desember 2015, kepastian tersebut diketahui, setelah Kepala BIN melakukan konferensi pers kepada awak media di Hotel Lido Graha, Lhokseumawe, Aceh.
Banyak fakta dan data yang terungkap seputar kisah perjalanan pejabat negara tersebut dalam menjemput kelompok Din Minimi di pedalaman Aceh Timur hingga penyerahan senjata api yang dipegang oleh kelompok tersebut.
Dalam pertemuan dengan awak media tersebut, Kepala BIN juga mengungkapkan keinginan kelompok tersebut agar dipenuhi oleh pemerintah. Namun, semua keinginan yang disampaikan oleh Din Minimi, dianggap wajar dan realistis oleh Letjen TNI (Purn) Sutiyoso.
Apa saja keinginan Din Minimi Cs, Sutiyoso membeberkan diantaranya meminta program reingrasi yang sesuai dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinky untuk dilanjutkan.
Selain itu, meminta para anak-anak yatim dan janda akibat konflik di Provinsi Aceh untuk diperhatikan dengan baik, jangan sampai kehidupannya menjadi terkatung-katung dan diabaikan.
Tuntutan
Tuntutan yang sangat kritis yaitu meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun ke Aceh, karena mereka menilai ada kejanggalan dalam pengelolaan APBD dan nilainya pun sangat tinggi.
"Bahkan dalam Pilkada tahun 2017 nanti, mereka meminta harus ada peninjau independen. Mengapa hal itu harus ada, karena tidak mau ada pihak-pihak tertentu yang melakukan intervensi," tutur Sutiyoso.
Tambahnya, permintaan mereka yang terakhir mengenai Amnesti untuk seluruh kelompoknya, sebanyak 120 orang yang ada dilapangan dan 30 orang yang sudah dipenjara, jelas mantan Gubernur DKI tersebut.
Drama penjemputan Din Minimi, menyisakan kisah menarik, karena keterlibatan langsung Kepala BIN yang turun tangan untuk menjemput Din Minimi bersama dengan kelompoknya dipersembunyiannya.
Bahkan, Sutiyoso mengatakan pihaknya menjemput Din Minimi yang bernama lengkap Nurdin Ismail bersama dengan anggotanya itu dan membawanya ke rumah orang tua Din Minimi di Desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur.
Kepala BIN itu menjelaskan proses penjemputan Din Minimi bersama kelompoknya itu berlangsung dengan sangat mulus dan aman serta sangat preventif. Bahkan, suasananya berlangsung dengan penuh kekeluargaan.
Sutiyoso mengakui, sebelum melakukan pertemuan dengan Din Minimi, dirinya sudah menjalin komunikasi lebih kurang dua bulan lalu. Saat penjemputan Din Minimi bersama kelompoknya tersebut, dirinya mengaku semalaman berbicara dengan Din Minimi.
Sementara itu, salah seorang rekan Din Minimi yang juga ikut terlibat dalam masalah turun gunung Din Minimi, dari lembaga Aceh Human Foundation (AHF) Adi Maros, menambahkan bahwa proses penjemputan Din Minimi langsung dilakukan oleh Kepala BIN yang ditemani oleh beberapa orang anggotanya.
Proses penjemputan dilakukan langsung oleh Kepala BIN di pedalaman Aceh Timur. Bahkan tanpa ada pengawalan dari aparat keamanan. Hanya Kepala BIN yang didampingi beberapa orang saja yang menempuh perjalanan 3-4 jam untuk sampai ke lokasi Din Minimi dan kelompoknya.
"Saya salut dengan pak Sutiyoso, seorang yang sudah pernah berpangkat Jenderal tapi masih mau masuk hutan tanpa ada pengawalan khusus, untuk bertemu dengan kelompok Din Minimi yang masih bersenjata," ucap Adi Maros.
Setelah dilakukan penjemputan, rombongan menuju ke rumah orang tuanya Din Minimi di Desa ladang Baroe, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur.
Adi Maros juga menyebutkan, di rumah orang tua Din Minimi, Kepala BIN sangat lama berbicara dengan Nurdin Ismail atau yang dikenal dengan Din Minimi.
Dalam percakapan tersebut, suasananya berlangsung sangat kekeluargaan sekali. Bahkan beberapa kali Kepala BIN memeluk Din Minimi sampai terlihat Kepala BIN itu menitikkan air matanya, cerita Adi Maros.
Pada malam hari saat keberadaan kepala BIN di rumah orang tua Din Minimi. Kawasan tersebut dijaga ketat oleh anggota Din Minimi yang masih bersenjata lengkap.
Adi Maros sendiri menyebutkan dirinya sudah lama mengenal Din Minimi, bahkan dirinya mengaku juga sama-sama mantan kombatan GAM.
Sebelum mengangkat senjata kembali dan dikenal dengan nama kelompok bersenjata Din Minimi, Nurdin Ilyas, bekerja pada perusahaannya sebagai operator alat berat.
"Bang Din itu bisa mengoperasikan berbagai jenis alat berat. Seperti, Beko, Buldozer dan juga Tosser. Sebelum mengangkat senjata dan menjadi incaran pihak keamanan, Bang Din bekerja sama saya," ucap Adi Maros.
Serahkan Senjata
Turunnya Din Minimi dari persembunyiannya setelah dilakukan penjemputan oleh Kepala BIN, membawa serta senjata api yang mereka gunakan.
Sebagaimana diceritakan oleh Adi Maros, setelah pagi harinya, senjata-senjata yang dipegang oleh anggota Din Minimi tersebut berpindah tangan satu persatu kepada Kepala BIN.
"Setelah semua senjata diserahkan, baru senjata yang dipegang oleh Din Minimi jenis AK-47 diserahkan langsung kepada Kepala BIN Sutiyoso," ucap Adi Maros.
Dalam penjelasannya di hadapan awak media saat konferensi pers di Hotel Lido Graha Lhokseumawe, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso mengatakan jumlah senjata yang diserahkan oleh kelompok tersebut sebanyak 15 pucuk, 13 diantaranya adalah jenis senjata serbu AK 47, satu pucuk jenis SS 1 dan satu pucuk FN, serta pelontar granat dan juga berikut amunisi yang ada.
Dengan turunnya Din Minimi bersama dengan anggotanya dari tempat persembunyian, maka membawa kelegaan. Hal itu sebagai langkah awal untuk mengakhiri pencarian kelompok bersenjata yang paling diburu oleh aparat kepolisian di Aceh.
Begitu juga dengan masyarakat, tidak perlu merasa was-was lagi terhadap ekses dan juga dampak dari keberadaan kelompok bersenjata tersebut, karena telah ada solusi untuk diselesaikan.
Bahkan, model penyelesaian permasalahan kelompok Din Minimi, sebagaimana disebutkan oleh Kepala BIN Sutiyoso, dapat menjadi sebuah model untuk kelompok bersenjata lainnya di Tanah Air.
Ya, apabila memiliki permasalahan yang sama dengan kelompok bersenjata, maka model "Soft Approach" dapat ditempuh seperti yang dilakukan untuk Din Minimi