Memberdayakan Pelaut Di Negeri Nenek Moyang Pelaut

id memberdayakan pelaut, di negeri, nenek moyang pelaut

Memberdayakan Pelaut Di Negeri Nenek Moyang Pelaut

Oleh Muhammad Razi Rahman

Jakarta, (Antarariau.com) - Lagu yang memiliki penggalan lirik "nenek moyangku, seorang pelaut" merupakan salah satu alunan yang kerap dilantunkan oleh anak-anak sekolah di Tanah Air.

Namun ironisnya, ternyata masih banyak pelaut asal Indonesia yang lebih memilih untuk bekerja di luar negeri dibandingkan di negeri sendiri, tentu saja dengan alasannya masing-masing.

Sebagaimana dituturkan Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BPSDM KKP) Suseno Sukoyono, ribuan pelaut berkewarganegaraan Indonesia bekerja di luar negeri yang mengindikasikan banyak dibutuhkannya pelaut RI.

"Saya pernah pergi ke Mauritius (negara kepulauan di Samudera Hindia) dan menjumpai 1.000 ABK (awak buah kapal) Indonesia," kata Suseno Sukoyono dalam konferensi pers di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, seribuan pelaut asal Indonesia itu berasal dari berbagai daerah seperti Batam, Pekalongan, dan Brebes. Pelaut WNI juga dapat ditemui di berbagai negara lainnya seperti Korea dan Hong Kong.

Dia mengungkapkan, pemerintahan RI melalui KKP juga menerima permintaan tenaga "observer" (pengawas kapal perikanan) hingga sebanyak 3.000 orang dari Jepang.

Suseno mengemukakan, pihaknya akan mencoba memenuhi permintaan tersebut, antara lain dengan mengundang pihak perusahaan swasta agar dapat mencapai tenaga yang dibutuhkan.

Sebelumnya, Kepala BPSDM KKP Suseno Sukoyono mengemukakan, penggajian pelaut di luar negeri lebih baik sehingga banyak pelaut yang berupaya mencari kerja di luar.

"Alasan bekerja di luar negeri adalah pengalaman beroperasi di laut lepas, pekerjaan di dalam negeri terbatas, penggajian yang lebih baik," ungkapnya.

Menurut Suseno, rata-rata jumlah gaji yang diperoleh tenaga kerja sumber daya sektor kelautan dan perikanan di dalam negeri adalah sekitar Rp2,5 juta per bulan.

Hal itu, ujar dia, sangat berbeda dengan gaji rata-rata yang diperoleh di beberapa negara luar negeri, seperti di Jepang (rata-rata Rp7,5 juta - Rp8 juta per bulan), di Korea Selatan (Rp11 juta - Rp12 juta per bulan), dan di Taiwan (Rp10 juta per bulan).

Bahkan, tenaga kerja sumber daya kelautan dan perikanan yang bekerja di Australia rata-rata bisa mencapai hingga sekitar Rp14 juta - Rp16 juta per bulan.

Kepala BPSDM KKP memaparkan, alasan lainnya mengapa pelaut asal Indonesia tertarik untuk bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar adalah juga untuk mengumpulkan dana yang cukup.

"Mereka bekerja mengumpulkan modal untuk berwirausaha," ucapnya sambil menambahkan, alasan lainnya juga adalah kesempatan yang lebih besar guna mendapatkan sertifikasi bertaraf internasional.

Tantangan serius

Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengingatkan, persoalan terkait sumber daya manusia di bidang kelautan dan perikanan merupakan tantangan yang serius bila tidak segera dibenahi pemerintah.

"Tantangan serius kedepan yang dihadapi pemerintah adalah masalah sumber daya manusia (SDM). Sebab, SDM berkualitas akan mendongkrak pencapaian target-target pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan," tutur kata Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan Kadin Indonesia, Yugi Prayanto.

Yugi juga mengingatkan bahwa kebutuhan SDM yang andal diperlukan dalam hal melakukan sosialisasi peraturan pemerintah, maupun dalam melakukan lobi dan tawar-menawar yang tinggi dengan negara lain.

Untuk itu, ujar dia, pemerintah harus memikirkan penerapan pola "orangtua asuh" antara pengusaha pemula dengan pengusaha besar sehingga terjadi transfer pengetahuan dan peningkatan SDM yang berkualitas.

Kadin juga mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan liberalisasi terbatas sumber daya manusia profesional untuk meningkatkan kinerja karyawan di dalam negeri.

"Kadin menyarankan untuk melakukan liberalisasi terbatas untuk SDM profesional berdasarkan kebutuhan nyata dan untuk waktu yang tidak lama," ujar Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto.

Menurut Suryo, hal itu karena rencana-rencana pemerintah untuk menyediakan kuantitas dan kualitas SDM yang profesional, tetapi membutuhkan waktu.

Ia mengemukakan, pemerintah harus memiliki peta potensi dan kondisi SDM, sehingga dapat menentukan sektor yang terbuka dan tertutup bagi SDM asing dan membatasi jumlah tenaga ahli untuk setiap bidang industri.

Selama masa transisi, ujar dia, pemerintah harus menggembangkan program peningkatan kualitas SDM Indonesia untuk dapat menggantikan tenaga ahli asing.

"Akhirnya sesuai dengan semangat pemerintah untuk menggairahkan perekonomian nasional dan dalam menghadapi tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, perlu dibangkitkan semangat dan kemampuan "entrepreneurship" dari semua pemangku kepentingan, baik di kalangan swasta maupun pemerintahan untuk menciptakan kondisi yang lebih baik, harga lebih murah, proses yang lebih cepat, dan efisien," tukasnya.

SDM andal

Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri juga telah menyiapkan sumber daya manusia pelaut andal yang selaras dengan Indonesia sebagai negara maritim, terutama untuk menghadapi pemberlakuan masyarakat ekonomi ASEAN 2015.

"Peningkatan kapasitas SDM ini dirasa sangat penting karena mengelola sumber daya kelautan dan perikanan pada hakikatnya adalah membangun SDM-nya, terlebih dalam menghadapi MEA 2015," tambah Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia KKP Suseno Sukoyono.

BPSDM memiliki satu Sekolah Tinggi Perikanan (STP) kampus Jakarta, Bogor, Serang, dan Karawang, tiga Politeknik Kelautan dan Perikanan di Sidoarjo, Bitung, dan Sorong, serta sembilan Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri di Aceh, Pariaman, Kota Agung, Tegal, Pontianak, Bone, Ambon, Kupang, dan Sorong.

Dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, BPSDM menggunakan sistem pendidikan vokasi dengan pendekatan "teaching factory". Pendidikan vokasi dicirikan dengan porsi 60 persen praktik dan 40 persen teori bagi tingkat pendidikan tinggi, serta 70 persen praktik dan 30 persen teori untuk tingkat pendidikan menengah.

Pendekatan "teaching factory" merupakan penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan proses produksi yang sebenarnya dan sesuai dengan tuntutan dunia usaha serta industri.

Sebagai contoh adalah Kapal Madidihang 03, kapal latih dan riset STP yang merupakan tercanggih di kelasnya se-Asia Tenggara.

Untuk mencetak SDM pelaut perikanan yang andal, katanya, di antara berbagai program studi/keahlian yang diselenggarakan BPSDM adalah Teknologi Penangkapan Ikan, Mesin dan Peralatan Perikanan, Nautika Perikanan Laut, dan Teknika Perikanan Laut.

Berdasarkan data KKP, BPSDM pada tahun 2014 telah melahirkan 1.665 lulusan satuan pendidikan, di mana sebanyak 80 persen lulusan tersebut bekerja sebagai tenaga profesional di dunia usaha/industri dan berwirausaha, sementara sisanya bekerja di pemerintahan dan melanjutkan pendidikan.

Para lulusannya tidak hanya memperoleh ijazah, namun juga dibekali dengan sertifikat keahlian, seperti sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan (Atkapin), Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan (Ankapin), dan Basic Safety Training (BST) sesuai dengan standar International Maritime Organization, serta sertifikat-sertifikat lainnya yang berstandar internasional sesuai dengan program studi masing-masing.

Di bidang pelatihan, KKP memiliki Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan di Medan, Tegal, Banyuwangi, Bitung, dan Ambon, serta Balai Diklat Aparatur di Subang.

Guna memperlancar jangkauan kegiatan pelatihan bagi masyarakat, BPSDM KKP membentuk Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP) yang kini jumlahnya mencapai 417 P2MKP di berbagai daerah di Indonesia.

Di antara berbagai pelatihan yang diberikan kepada masyarakat adalah pelatihan penangkapan ikan dan permesinan kapal perikanan.

Dalam menghadapi MEA 2015, BPSDM KKP telah menetapkan program dan kegiatan, antara lain menyusun Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang sertifikasi SDM kelautan dan perikanan, serta menyusun 17 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang perikanan serta 10 Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3) pengelolaan bidang kelautan dan perikanan.

Beberapa hal yang akan dikembangkan, antara lain Komite Standar Kompetensi, sertifikasi SDM kelautan dan perikanan, 40 Tempat Uji Kompetensi (TUK) di bidang perikanan, Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Kelautan dan Perikanan, Dewan Penguji Keahlian Pelaut Perikanan, lembaga pelatihan masyarakat, serta inkubator dan jejaring bisnis.