Pekanbaru, (Antarariau.com) - World Wildlife Fund (WWF) meminta perusahaan raksasa produsen bubur kertas (pulp) dan kertas "Asia Pulp and Paper/APP" tidak hanya berhenti menebangi hutan alam, tetapi harus berbuat lebih untuk konservasi hutan.
"APP sudah menghentikan penebangan hutan alam dan melakukan berbagai kajian di dalam kawasan konsesi mereka. Namun, belum banyak perubahan di tingkat tapak," papar Pimpinan Komoditas Hutan WWF Indonesia, Aditya Bayunanda dalam pesan elektronik di terima Antara di Pekanbaru, Kamis.
Pernyataan itu dikeluarkan WWF, dua tahun setelah APP mengumumkan kebijakan konservasi hutan yang baru. Di mana janji APP untuk menghentikan penebangan hutan alam masih belum terbukti karena hilangnya hutan alam dalam kawasan perusahaan kertas itu masih terus terjadi.
Laporan audit "rainforest alliance" diluncurkan hari ini mengkonfirmasi temuan WWF dan LSM lokal bahwa APP masih gagal menghentikan deforestasi dan aktivitas ilegal oleh pihak lain di dalam kawasan konsesinya sendiri. Bahkan di dalam kawasan yang diidentifikasi oleh APP mengandung nilai konservasi dan stok karbon yang tinggi.
Aditya mengatakan, belum banyak perubahan di tingkat tapak seperti hutan alam masih hilang, lalu gambut masih dikeringkan dan konflik sosial belum terselesaikan. Bahkan APP gagal melindungi hutan yang diwajibkan pemerintah untuk dikonservasi.
WWF menilai masih kurangnya kemajuan yang dicapai dalam upaya untuk mengurangi dampak iklim dari konsesi APP yang banyak di kawasan gambut.
Audit "rainforest alliance mengkonfirmasi selain menghentikan pembangunan kanal baru, APP belum melakukan tindakan nyata dilapangan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pengeringan jutaan hektare lahan gambut di bawah penguasaan APP.
WWF juga prihatin terhadap sedikitnya kemajuan yang dibuat APP untuk menyelesaikan ratusan konflik sosial yang terjadi. Temuan LSM lokal dikonfirmasi dalam audit "ainforest alliance semestinya menjadi prioritas bagi APP.
Pada 2014, WWF menyambut inisiatif APP melakukan restorasi dan konservasi pada 1 juta hektare ekosistem tropis di luar kewajiban berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, sebagai langkah tepat mitigasi dampak atas deforestasi yang telah dilakukan perusahaan diperkirakan mencapai 2 juta hektare hutan alam tropis.
"Kami berpartisipasi dalam beberapa pertemuan pemangku kepentingan dan kegiatan kelompok kerja sejak inisiatif itu diumumkan. Berbagai diskusi dilakukan belum hasilkan kemajuan signifikan. Belum ada rencana konkret tentang lokasi hutan akan direstorasi atau dikonservasi dan melalui pendanaan seperti apa," tegasnya.
"Bahkan dalam lanskap prioritas APP seperti Bukit Tigapuluh, perusahaan masih belum dapat penuhi janji untuk menyediakan koridor satwa liar serta menghentikan pembalak liar dan perambah masuk ke dalam hutan melalui jalan konsesi mereka," katanya menambahkan.
Meski begitu, WWF mengapresiasi langkah APP mengundang "rainforest alliance" untuk melakukan audit terhadap kemajuan pelaksanaan komitmen kebijakan mereka dan mendorong APP untuk segera menindaklanjuti dengan tegas temuan-temuan yang disampaikan dalam laporan audit tersebut.
"Setelah jalani dua tahun melakukan kajian dan perencanaan, APP perlu fokus pada implementasi. Hari ini, APP menjanjikan perubahan. Kami akan memantau langkah-langkah yang akan diambil untuk melihat keseriusan APP dalam menyelamatkan hutan," jelas Direktur Program Kehutanan WWF-International, Rod Taylor.
"Pembeli APP harus tetap waspada terhadap risiko melakukan bisnis dengan perusahaan yang belum menghentikan terjadinya deforestasi dan emisi karbon dari gambut di kawasan sumber bahan baku kayunya," tegasnya.