Pekanbaru, (Antarariau.com) - Managemen SKK-Migas menyatakan cadangan gas bumi Indonesia cukup berlimpah, namun apabila keekonomian tidak terpenuhi dan infrastruktur tidak tersedia, cadangan tersebut tetap tidak akan bisa dimanfaatkan baik untuk menghasilkan penerimaan negara maupun memasok energi domestik.
"Semua pemangku kepentingan perlu turut memperhatikan dua aspek ini sehingga potensi besar gas bumi dapat benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat," kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Migas (SKK Migas) Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), Hanif Rusdi kepada pers lewat pesan elektronik yang diterima, Jumat.
Untuk diketahui, lanjut dia, di saat cadangan dan produksi minyak bumi menurun, penemuan beberapa sumber gas besar memberikan harapan bagi Indonesia. Keekonomian dan ketersediaan infrastruktur adalah kata kunci pengembangan proyek gas.
Minyak bumi telah sekian lama menjadi sumber utama penerimaan negara dan pasokan energi domestik. Eksploitasi pada lapangan-lapangan minyak utama menurutnya telah berlangsung puluhan tahun dan menunjukkan kecenderungan produksi yang menurun.
Syukurlah, katanya, di tengah menurunnya cadangan dan produksi minyak, penemuan cadangan gas bumi ternyata memperlihatkan prospek yang menjanjikan.
Saat ini menurut dia kegiatan eksplorasi lebih banyak menemukan cadangan gas dengan potensi besar, misalnya saja Blok Masela di Laut Arafura; Blok Muara Bakau dan Proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) di Selat Makassar. Penemuan ini tentunya memberikan optimisme bagi kelangsungan penerimaan negara dan ketersediaan pasokan energi bagi pertumbuhan ekonomi.
Terlepas dari potensi yang menjanjikan tersebut, lanjut dia, pemanfaatan gas sesungguhnya lebih menantang dari pemanfaatan minyak bumi.
Pertama, katanya, temuan gas umumnya berlokasi di wilayah timur Indonesia. Kegiatan eksplorasi dan produksi gas pada wilayah ini lebih sulit. Butuh teknologi yang lebih canggih.
Konsekuensinya, kata dia, pengembangan gas membutuhkan investasi yang sangat besar, sehingga investor akan sangat berhati-hati dalam mengkalkulasi. Hal ini menyebabkan aspek keekonomian pengembangan lapangan haruslah diperhatikan saat memanfaatkan gas, terutama saat penentuan harga.
Tantangan lain menurutnya adalah ketersediaan infrastruktur. Karakteristik gas bumi membuat proses pemanfaatannya lebih kompleks ketimbang minyak bumi. Dengan bentuk yang cair, minyak mudah ditampung dan diangkut. Selain itu, produsen minyak tidak perlu pusing memikirkan pemasaran karena pembeli minyak bisa dipastikan selalu ada setiap saat.
"Lain halnya pada pengembangan gas bumi. Gas tidak bisa ditampung, sehingga begitu keluar dari dalam bumi harus segera dimanfaatkan. Oleh karena itu, pengembangan lapangan gas baru dapat dilaksanakan setelah mendapat kepastian pembeli," katanya.
Apabila pembelinya berlokasi jauh dari lapangan produksi gas, dan tidak memungkinkan dibangun pipa, alternatifnya menurut dia dibangun fasilitas gas alam cair atau dikenal dengan liquefied natural gas (LNG). Dengan teknologi ini, katanya, gas terlebih dahulu dicairkan menjadi LNG, baru kemudian diangkut dengan kapal khusus pengangkut LNG. Saat sampai di daerah tujuan, gas cair kembali diubah menjadi gas sebelum dimanfaatkan oleh pengguna akhir.
Dengan gambaran ini, demikian Hanif, bisa dipahami bahwa gas yang ditemukan di Papua tidak bisa serta merta diangkut untuk memenuhi kebutuhan industri di Sumatera dan Jawa. Perlu infrastruktur untuk mengubah gas itu menjadi LNG, sehingga bisa diangkut. Infrastruktur untuk mengubah kembali LNG menjadi gas juga perlu tersedia di Sumatera dan Jawa.
"Tidak hanya itu, saat ini, jaringan pipa distribusi gas masih minim. Alhasil, ketika ada daerah yang surplus produksi gas, tidak dapat dikirimkan ke daerah yang kekurangan gas. Contoh konkret, produksi gas di Jawa Timur lebih besar dari kebutuhannya. Kelebihan pasokan ini tidak dapat dikirimkan ke Jawa Barat yang kebutuhan gas tinggi karena belum ada jaringan pipa yang menghubungkan kedua wilayah ini," katanya.