Pekanbaru, (Antarariau.com) - Kalangan dunia usaha menyatakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 10 tahun dinilai telah membuat kebijakan yang keliru dengan menampung lembaga nonpemerintah (NGO) terutama asing untuk melakukan aktivitas di dalam negeri.
"Yang keliru adalah pemerintah kita, karena mengizinkan NGO seperti Greenpeace masuk ke Indonesia. Keliru yang luar biasa," ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan melalui sambungan telepon seluler dari Pekanbaru, Selasa.
Kalau NGO asing, menurutnya, pemerintah baik pusat maupun daerah tidak harus berikan bantuan berupa dana. Namun NGO asing seperti Greenpeace bisa leluasa melakukan kampanye negatif baik di dalam negeri maupun dunia internasional untuk menolak ekspor produk Indonesia.
Sedangkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang lokal, terutama pemerintah yang ada di daerah harus memberikan bantuan sejumlah dana yang bersumber dari APBD untuk aktivitas yang mereka lakukan di daerah.
"Jadi, bedanya di situ aja dan negara lebih suka yang datang seperti Greenpeace, World Wildlife Fund (WWF) dan semacamnya. Logika saja, mereka punya kantor di Indonesia siapa yang bayar," katanya dengan nada bertanya.
Wikipedia menulis Greenpeace hadir di Indonesia pada tahun 2005 dan mengaku memfokuskan kampanyenya pada beberapa persoalan seperti kehutanan, energi, air dan kelautan. Kampanye kehutanan terutama hutan gambut terkait dengan pemanasan global atau perubahan iklim.
Makanya, lanjut Rusli, organisasi yang mengaku pecinta lingkungan tersebut bisa menekan para pelaku usaha khususnya industri hijau seperti minyak sawit mentah (CPO) atau pulp dan kertas, demi mendapatkan dana untuk biaya hidup serta biaya operasional yang besar.
"Saya pikir, sudah banyak keliru. Tapi pemerintahan yang baru Joko Widodo-Jusuf Kalla, saya tidak tahu. Apakah mereka berani membereskan begitu atau tidak. Kalau pemerintahan Jokowi sama dengan SBY, apa boleh buat. Kita tidak bisa apa-apa," ucapnya.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Provinsi Riau Viator Butarbutar tidak menampik adanya pengaruh dari kampanye negatif yang selalu disuarakan oleh NGO asing terhadap hasil produk yang diekspor dari provinsi tersebut.
"Kampanye negatif yang dilakukan NGO asing antara lain dengan mengusung isu lingkungan, meski tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap nilai ekspor kita (Riau), tapi ada walau sedikit," katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau awal September 2014 melaporkan nilai ekspor provinsi tersebut pada Juli 2014 mencapai 1,41 miliar dolar AS atau turun 3,53 persen dibanding ekspor Juni sebesar 1,46 miliar dolar AS.
Sedangkan secara kumulatif nilai ekspor pada bulan Januari-Juli 2014 adalah sebesar 9,87 miliar dolar AS dimana jumlah tersebut turun 0,51 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2013 sebesar 9,92 miliar dolar AS.
Berita Lainnya
Lomba maraton Polda Riau dinilai tingkatkan pertumbuhan ekonomi
14 July 2024 16:16 WIB
Tawaran pemerintah Indonesia dalam agenda prioritas G20 dinilai sudah tepat
29 January 2022 12:21 WIB
Dinilai mendesak, DPR-Pemerintah perlu segera bahas RUU Daerah Kepulauan
04 October 2021 11:42 WIB
Pemerintah dinilai perlu pertimbangkan untuk lanjutkan moratorium sawit
24 September 2021 11:48 WIB
Rencana pemerintah untuk membuat rupiah digital dinilai positif
27 February 2021 12:21 WIB
Pemerintah Bengkalis dinilai mubazir buat dua website COVID-19
21 May 2020 21:18 WIB
Pemerintah Dinilai Lemah Hadapi Tekanan LSM Asing
27 February 2015 7:14 WIB
Pemerintah Dinilai Lemah Hadapi Tekanan LSM Asing
26 February 2015 21:35 WIB