Teheran (ANTARA) - Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kian mengerikan. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyebut penderitaan warga sipil telah melampaui batas krisis yang bisa ditoleransi.
“Orang-orang dibunuh saat berjuang mendapatkan makanan. Ini tidak bisa diterima. Mereka secara harfiah dibiarkan mati kelaparan, dan kami tidak bisa hanya berdiri melihat,” tegas juru bicara OCHA, Jens Laerke, seperti dikutip Al Jazeera.
Baca juga: Tragedi Kemanusiaan di Gaza: 56.600 Nyawa Melayang Akibat Genosida Israel
Laerke mendesak agar warga sipil dilindungi dan sistem distribusi bantuan makanan segera diaudit. Menurutnya, bencana kemanusiaan di Gaza saat ini belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun.
PBB kembali menyerukan agar Israel membuka akses tanpa hambatan terhadap bantuan kemanusiaan melalui jalur penyeberangan utama menuju Gaza. “Warga sipil harus dihormati dan dilindungi,” kata Stéphane Dujarric, juru bicara Sekjen PBB António Guterres.
Guterres juga menyambut baik upaya diplomatik yang sedang dilakukan dan menegaskan kembali pentingnya gencatan senjata permanen di Gaza untuk menghentikan penderitaan.
Baca juga: PBB Soroti Krisis Gizi Anak di Gaza
Sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 56.500 warga Palestina — mayoritas perempuan dan anak-anak — dan melukai lebih dari 133.000 orang.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, Mahkamah Internasional (ICJ) terus mengadili Israel atas tuduhan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza.