Pekanbaru, (Antarariau.com) - Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan dengan terjadinya kasus penculikan disertai pelecehan seksual dan mutilasi terhadap sejumlah anak di Provinsi Riau, patut pemerintah menetapkan daerah itu darurat kejahatan terhadap anak.
"Kasus tersebut seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah. Dengan terjadinya kasus mutilasi yang sangat luar biasa dan teramat sadis, Riau patut sebagai daerah rawan kejahatan terhadap anak," kata Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait kepada Antara di Pekanbaru lewat sambungan telepon, Selasa.
Menurut dia, penetapan status daerah darurat anak itu dilakukan agar semua pihak baik pemerintah daerah, kepolisian dan masyarakat dapat terus mengingat kejadian kejahatan luar biasa tersebut.
Dengan terus mengingatnya, maka menurut dia pemerintah akan dapat melakukan upaya pencegahan lewat dunia pendidikan dan program-program perlindungan anak.
Sementara kepolisian, kata dia, juga dapat melakukan pencegahan dengan cara terus memonitor situasi keamanan di tiap daerah atau suatu kawasan.
"Untuk masyarakat, para orangtua diharapkan akan berupaya mengawasi dengan ketat anak-anaknya, terutama di lingkungan pergaulan dan permainan mereka," katanya.
Sebelumnya, warga di berbagai wilayah di Provinsi Riau digemparkan dengan adanya kasus dugaan pelecehan seksual disertai pembunuhan dengan cara mutilasi oleh empat orang tersangka.
Kasus tersebut terungkap berawal dari maraknya laporan kasus kehilangan anak di wilayah hukum Kepolisian Resor Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Aparat setempat kemudian melakukan penyelidikan hingga diamankan lima pria diduga pelaku pelecehan seksual disertai mutilasi.
Mereka adalah MD (19), AS (22), DP (16),B (45), dan R (45), merupakan warga Perawang, Kabupaten Siak. Namun dari hasil pemeriksaan, kepolisian hanya menetapkan dua orang sebagai tersangka, yakni MD dan DP, sementara AS, B dan R tidak terbukti dan dibebaskan.
Dari dua tersangka itu, aparat kemudian mendapatkan pengakuan, mereka telah melakukan pelecehan seksual dan memutilasi dua korban bernama Marjevan Gea, laki-laki berusia 8 tahun dan Femasili Madeva, laki-laki berumur 10 tahun.
Dari informasi itu, kepolisian kemudian melakukan penyisiran hingga ditemukan kedua jasad korban dalam kondisi tinggal tulang belulang di kawasan hutan tanam industri, tepatnya di Desa Pinang Sebatang Timur, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak.
Menurut pengakuan tersangka MD dan dan DP, kedua korban setelah disodomi kemudian dimutilasi pada waktu yang berbeda.
Untuk korban Marjevan Gea, pelaku MD membunuhnya pada 30 Juni 2014 bersama rekannya berinisial S, laki-laki berusia 26 tahun.
Aparat kemudian memburu S yang berhasil diamankan beberapa hari setelah penemuan jasad tinggal rangka tersebut pada 23 Juli 2014.
Sementara untuk korban Femasili Madeva dibunuh oleh ketiga pelaku, MD, DP dan S pada 18 Juli 2014 tidak jauh dari lokasi penemuan jasad korban pertama.
Penyidik kepolisian kemudian mendalami perkara tersebut hingga MD yang diduga menjadi otak pelaku kejahatan itu mengakui juga melibatkan DD, perempuan 19 tahun yang merupakan mantan istrinya.
DD akhirnya diamankan di rumahnya di Perawang, Kabupaten Siak untuk kemudian ditetapkan sebagai tersangka baru dalam perkara pelecehan seksual disertai mutilasi.
"Hasil dari penangkapan DD didapati pengakuan baru terkait adanya empat korban lainnya," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Siak, AKP Hary Budianto.
Salah satu korban yang menjadi "santapan" MD dan DD diketahui bernama Rendi Hidayat, laki-laki berusia 10 tahun.
Kedua tersangka itu mengaku membunuh korban dengan cara mutilasi pada 14 Agustus 2013 di belakang tempat pemakaman umum (TPU) Hiyatul Jannah, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak.
Aparat menemukan jasad korban juga tinggal tulang belulang yang berserakan di sekitar lokasi kejadian pada 7 Agustus 2014. Selain itu, juga ditemukan baju dan celana korban tidak jauh dari jasad.
Sementara itu, tiga korban lainnya adalah Muhamad Hamdi, laki-laki 10 tahun, Muhammad Akbar, laki-laki 10 tahun, dan terakhir Acik, laki-laki berusia 40 tahun yang belakangan diketahui mengalami keterbelakangan mental.
Untuk jasad Muhamad Hamdi ditemukan pada 7 Agustus 2014 di lokasi kejadian Jalan Stadion, Kota Duri, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, sementara jasad korban Acik ditemukan di Jalan Siak-Duri, Kecamatan Mandau.
Saat ditemukan, jasad keduanya juga tinggal tulang belulang. Untuk korban Muhamad Akbar, juga ditemukan pada tanggal yang sama setelah beberapa waktu pencarian di lokasi yakni di Jalan Beladang, Kilometer 10, Kecamatan Mandau, Bengkalis.
Jasad Muhamad Akbar juga ditemukan tinggal kerangka, kepolisian juga mengamankan pelampung dan sandal serta celana korban di lokasi yang dekat anak sungai itu.
MD dan DD melakukan pembunuhan itu pada 2013 saat keduanya masih berstatus suami-istri, sementara saat ini keduanya telah bercerai.
Dari empat tersangka yang diamankan, yakni MD, DP dan S serta DD, terakhir kepolisian mendapatkan informasi tentang satu korban lagi yang menjadi mangsa MD.
Korban tersebut adalah Febrian Dela, bocah laki-laki yang masih berusia 5,5 tahun dan duduk di bangku taman kanak-kanak.
Pelaku mengaku membunuh bocah tersebut pada 10 Januari 2013 di Kampung Baru, Kelurahan Rengau, Kecamatan Rantau Kopar, Kabupaten Rokan Hilir.
Berita Lainnya
Bupati Adil harap kolaborasi PA Meranti dapat meminimalisir kriminalisasi anak
15 October 2022 14:27 WIB
Komnas PA: Hari Anak Nasional merupakan momentum perkuat sistem perlindungan
16 July 2022 15:23 WIB
Komnas PA Riau antisipasi kenaikan kasus kekerasaan anak saat pandemi COVID-19
04 November 2020 14:07 WIB
Komnas PA Sebut Riau Darurat Kejahatan Seksual Anak
24 April 2017 22:00 WIB
Riau Darurat Kejahatan Anak di Hari Anak
20 August 2014 21:53 WIB
Izin Tak Lengkap Menara Telekomunikasi Disegel Aparat
03 April 2017 15:30 WIB
Jokowi Jenguk Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Hasyim Muzadi
15 March 2017 11:05 WIB
Pemko Batu Alokasikan Rp4,3 Miliar Untuk Bantu Ibu Hamil
07 February 2017 10:50 WIB