GAPKI Riau Harapkan Kebijakan Penyerapan Biodiesel Domestik

id gapki riau, harapkan kebijakan, penyerapan biodiesel domestik

GAPKI Riau Harapkan Kebijakan Penyerapan Biodiesel Domestik

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Riau mengharapkan pemerintah secara konsisten menerapkan kebijakan untuk menyerap sebanyak-banyaknya produk turunan kelapa sawit, khususnya biodiesel, yang dinilai bisa melengkapi kebijakan pembatasan penjualan solar bersubsidi.

"Sudah ada kebijakan komposisi 10 persen biodiesel dalam bahan bakar solar di dalam negeri, tapi ternyata pelaksanaannya tidak konsisten," kata Ketua Gapki Riau Hinsatopa Simatupang kepada Antara di Pekanbaru, Minggu.

Menurut dia, sebenarnya pengusaha siap apabila ada kebijakan kewajiban memenuhi kebutuhan domestik baik itu untuk kebutuhan pangan, industri, maupun energi.

Namun, ia menilai pemerintah selama ini hanya lebih mengedepankan peningkatan penerimaan dari peningkatan bea keluar minyak sawit mentah (CPO) progresif ketimbang untuk menyerap produk turunan sawit untuk pasar dalam negeri.

Menurut dia, pengusaha sebenarnya mengharapkan adanya kebijakan yang memudahkan penyerapan biodiesel di dalam negeri. Dengan begitu, Indonesia juga tidak akan bergantung pada ekspor CPO yang kini lesu karena resesi global, dan menjadi sasaran kampanye hitam dari LSM asing maupun negara di Uni Eropa.

"Kalau penyerapan di dalam negeri besar, kita tidak perlu ribut-ribut soal ekspor ketika CPO Indonesia dituding oleh negara-negara Uni Eropa tidak ramah lingkungan. Padahal, Uni Eropa sendiri sangat kecil menyerap produk kita jadi lebih kepada motif bisnis untuk melindungi produk biodiesel mereka yang terbuat dari biji bunga matahari dan lainnya," katanya.

Peniliti lembaga kajian ekonomi kerakyatan dan migas dari Duri Institute, Agung Marsudi, mengatakan dalam bidang energi, pemerintah seharusnya mengoptimalkan potensi energi terbarukan dari biodiesel untuk mengurangi impor BBM.

Potensi biodiesel sangat besar karena produksi kelapa sawit Indonesia sangat tinggi, terutama berasal dari Riau dengan luas area kebun sawit lebih dari 3 juta hektare dan menyumbang 30 persen dari 26 juta ton produksi nasional minyak sawit mentah (CPO) setahun.

"Tapi lucunya, di Riau kita punya tiga pabrik biodiesel di Kota Dumai yang hasilnya hampir semuanya diekspor karena harga di dalam negeri terlalu rendah dibandingkan solar subsidi. Ditambah lagi, pajak ekspor biodiesel jauh lebih murah ketimbang ekspor CPO," ungkap Agung Marsudi.

Pemimpin Bank Indonesia Perwakilan Riau, Mahdi Muhammad, mengatakan penguatan kebijakan energi terbarukan sebenarnya merupakan jawaban untuk pemerintah menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit). Pada kuartal II-2014 defisit transaksi berjalan sebesar 9,1 miliar dolar AS, naik dibandingkan kuartal I-2014 yang sebesar 4,2 milar dolar AS, atau 2,05 persen, dan kenaikan sebesar 116 persen dibandingkan kuartal sebelumnya.

Ia menilai kebijakan pembatasan penjualan solar bersubsidi yang dilakukan Pertamina saat ini tidak akan signifikan untuk menekan konsumsi BBM, apalagi mengurangi defisit transaksi berjalan.

"Pembatasan penjualan solar bersubsidi hanya sedikit memberi dampak karena tidak di semua SPBU diberlakukan, dan yang terjadi nanti hanya pergeseran waktu pembelian solar dari yang biasanya malam hari menjadi siang hari," katanya.