Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis anak dan keluarga Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Psi menyampaikan bahwa tindakan pilih kasih orang tua dalam jangka panjang bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak.
"Dampaknya macam-macam, ada yang kemudian membuat anak jadi enggak percaya diri," kata psikolog yang akrab disapa Nina itu saat dihubungi ANTARA dari Jakarta pada Rabu.
"Dalam jangka panjang, seringkali juga berdampak dalam perkembangan mereka, misalnya salah satu anak lebih berprestasi dibandingkan anak yang lain," kata psikolog yang praktik di Lembaga Psikologi Terapan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
Nina mengungkapkan bahwa para orang tua umumnya tidak atau kurang menyadari kalau mereka melakukan tindakan pilih kasih pada anak-anak mereka.
Misalnya, orang tua memberikan lebih banyak perhatian kepada anak yang dianggap lebih lemah dari anak yang lain karena menilai anak tersebut membutuhkan perhatian ekstra.
Ada pula orang tua yang merasa lebih nyaman dengan anak tertentu sehingga tanpa sadar memberikan perhatian lebih kepada anak tersebut.
Selain itu, orang tua yang belum siap punya anak lagi kadang kala secara tidak sadar lebih fokus memperhatikan anak yang baru lahir, sehingga anak yang lain bisa merasa diabaikan.
Ketika orang tua terus menerus memberikan perhatian lebih banyak kepada anak tertentu, anak yang kurang diperhatikan bisa merasa tidak disayang oleh orang tuanya.
Nina menyampaikan bahwa memberikan kasih sayang yang sama bagi anak-anak tidak berarti menyamaratakan perhatian kepada anak pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.
"Tetapi, perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan perlu ada feedback, baik dari anak ataupun orang lain yang mengenal kita," kata psikolog lulusan Universitas Indonesia itu.
Nina mengemukakan bahwa orang tua perlu introspeksi diri jika merasa pilih kasih dalam memperlakukan anak-anaknya.
Setelah melakukan introspeksi, menurut dia, orang tua perlu mengajak masing-masing anak untuk berbicara agar dapat mendengar isi hati mereka serta menemukan solusi guna memperbaiki hubungan dengan mereka.
"Perlu ada waktu untuk berbicara one by one dengan masing-masing anak kita, misal saya lagi sendirian sama anak kedua, coba ajak bicara," katanya.
Kalaupun harus memberikan perhatian lebih kepada salah satu anak karena kondisi tertentu, seperti masalah kesehatan yang membutuhkan perhatian lebih, orang tua harus tetap berupaya memberikan perhatian yang dibutuhkan oleh anak lainnya.
Menurut Nina, orang tua bisa melibatkan anggota keluarga yang lain seperti nenek dan kakek dalam pengasuhan dan perawatan anak.
"Misalnya ada anak yang perlu terapi untuk kesehatan mentalnya, nah jangan kita terus yang menemani. Kita bisa berdayakan orang terdekat lainnya secara bergantian," kata Nina.
Dalam upaya untuk membangun hubungan yang harmonis dengan anak, ia mengatakan, orang tua bisa memperhatikan dan menyampaikan kelebihan dan keunikan masing-masing anak.
"Usahakan menemukan keunikan, kelebihan masing-masing anak, dan menyampaikan keunikan dan kelebihan tersebut," kata Nina.
"Jangan cuma memberitahu yang jeleknya saja, supaya dia betul-betul paham apa kelebihannya, bukan cuma kekurangannya," katanya.
Baca juga: Psikolog ungkapkan banyak berteman bisa jadi strategi untuk hindari perundungan
Baca juga: Psikolog: Ini dampak buruk masukkan anak ke SD sebelum waktunya