Jakarta (ANTARA) - Suara nyaring burung saling bersahutan memecah suasana hening di kawasan yang masih asri di Taman Nasional Kelimutu. Sepanjang perjalanan menuju puncak Gunung Kelimutu, pengunjung akan ditemani suara burung garugiwa.
Fauna terbang yang dikenal sebagai burung arwah tersebut merupakan peksi endemik yang hanya bisa ditemui di Flores. Garugiwa termasuk burung cerdas yang mampu menirukan hingga 12 suara. Tak heran burung tersebut dijadikan ikon Balai Taman Nasional Kelimutu.
Untuk menuju Danau Kelimutu, yang merupakan kawah dari Gunung Kelimutu, dari tempat parkir pengunjung harus berjalan kaki menelusuri jalan setapak sepanjang 2 kilometer dan menapaki kurang lebih 300 anak tangga menuju puncak gunung.
Berbicara tentang Danau Kelimutu memang tak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat Suku Lio, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, yang meyakini danau tersebut merupakan tempat bersemayamnya para arwah.
Konon kabarnya, para arwah dari orang yang meninggal akan bersemayam di tiga danau yang berada di puncak gunung. Tiga danau berwarna atau triwarna tersebut bernama Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, dan Tiwu Ata Polo.
Orang yang semasa hidupnya mengamalkan kebaikan dan kebajikan hingga berumur panjang, maka setelah meninggal arwahnya akan menempati Tiwu Ata Mbupu, yakni danau yang berwarna gelap.
Sementara, orang yang meninggal muda, arwahnya akan menempati Tiwu Nuwa Muri Koo Fai yang berwarna hijau. Sementara, orang yang semasa hidupnya berlaku jahat maka setelah meninggal arwahnya akan menempati Tiwu Ata Polo, yakni danau yang berwarna gelap seperti hijau tua, coklat, hingga dapat berubah warna menjadi merah.
Warna danau yang terletak di Gunung Kelimutu itu dapat berubah-ubah, dari hijau menjadi biru, hitam, ataupun merah. Masyarakat yang mendiami kaki Gunung Kelimutu meyakini bahwa perubahan warna danau membawa pesan tertentu.
“Misalnya, pada 1996--sebelum terjadinya krisis moneter--danau mengalami perubahan warna dan selanjutnya pada 2008 menjelang Pak Harto (Soeharto) meninggal dunia,” kata warga setempat bernama Adel saat ditemui di kawasan Danau Kelimutu, akhir pekan lalu.
Terlepas dari kepercayaan masyarakat setempat, secara saintifik perubahan warna terjadi karena pengaruh dari mekanisme vulkanis, yang mendesak gas-gas di dalam Bumi hingga keluar ke permukaan. Gas itu bereaksi dan bercampur di danau dan menyebabkan perubahan warna air danau.
Perubahan warna dari hijau menjadi putih menandakan meningkatnya aktivitas Gunung Kelimutu. Perubahan warna ini tidak mempunyai pola yang jelas, tergantung aktivitas vulkanik yang terjadi
Danau Kelimutu yang terletak di ketinggian 1.639 mdpl tersebut berasal dari kata dari "keli" yang berarti gunung dan "mutu" yakni mendidih. Dengan demikian, Kelimutu bermakna gunung mendidih dengan perbedaan warna air.
Tak heran pesona danau tiga warna tersebut memukau sejumlah wisatawan untuk mengunjungi danau yang berjarak 65 km dari Kota Ende tersebut. Tak hanya wisatawan lokal, banyak pula turis mancanegara yang takjub.
Seorang wisatawan asal Jakarta, Gabriel, mengaku takjub dengan pemandangan alam yang luar biasa di kawasan tersebut. Meskipun kala itu ia tak bisa melihat dengan jelas keindahan danau tersebut karena terhalang kabut, tak menutupi ketakjuban Gabriel akan keindahan pesona alam tersebut.
“Indah sekali. Ternyata banyak wilayah di Indonesia yang perlu dijelajahi dan lebih indah dibandingkan tempat lain,” kata Gabriel yang baru pertama datang ke Danau Kelimutu.
Untuk menuju kawasan tersebut, Gabriel harus bermalam di desa yang ada di kaki gunung tersebut. Banyak penginapan dengan harga terjangkau tersedia di kawasan berhawa sejuk. Ia menyarankan pengunjung datang sebelum pukul 08.00 waktu setempat agar bisa melihat keindahan danau tersebut lebih jelas. Jika bepergian sendirian, penduduk lokal dengan senang hati akan mengantarkan pengunjung.
Pemandu wisata dari Dinas Pariwisata Ende, Ferdinand Radawara, mengatakan dari tiga danau tersebut, hanya danau Tiwu Ata Mbupu yang bisa didekati, namun pengunjung tetap tidak diperkenankan melakukan aktivitas seperti berenang.
“Apalagi saat ini berada pada Level II atau 'Waspada'. Pengunjung hanya diperbolehkan untuk naik ke puncaknya, tidak boleh mendekat ke danau. Waktu kunjungan pun dibatasi hanya sampai pukul 12.00,” terang Ferdinand.
Ritual Pati Ka
Sampai saat ini, komunitas adat di kawasan Gunung Kelimutu rutin menggelar ritual memberi makan dan minum para arwah Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata’ atau Pati Ka, yang biasa diselenggarakan pada 14 Agustus.
Ritual yang diselenggarakan sebanyak 22 komunitas adat tersebut diselenggarakan di situs Pati Ka yang berada di kawasan Danau Kelimutu. Prosesi ritual biasanya dipersiapkan dari tempat parkir lalu peserta berjalan beriringan menuju situs dengan membawa persembahan yang terdiri atas nasi, daging babi, sirih dan pinang, serta rokok. Untuk minumannya ada air putih dan minuman alkohol lokal atau moke.
“Masing-masing tetua adat atau mosalaki akan meletakkan persembahan di pelataran situs Pati Ka,” kata Ferdinand.
Setelah menaruh persembahan, masing-masing mosalaki memberikan sambutan dan dilanjutkan dengan menari mengelilingi pelataran tersebut. Sisa-sisa persembahan tersebut dibagikan kepada masyarakat atau pengunjung yang datang ke kawasan tersebut.
Biasanya, masyarakat berebut ingin mendapatkan sisa persembahan karena dipercaya akan membawa berkah.
Selain untuk menghormati dan berkomunikasi dengan para leluhur, ritual yang dilakukan setiap tahun itu juga bertujuan untuk menolak bala. Masyarakat setempat percaya bahwa perubahan yang terjadi pada danau baik warna maupun kondisi air yang menyusut, memberi pesan pada penduduk.
Terlepas dari relasi penduduk dengan alam, pesona Danau Kelimutu terlalu sayang untuk dilewatkan. Paling tidak sekali dalam seumur hidup, berkunjunglah ke danau tiga warna ini.
Baca juga: Kemenhub subsidi angkutan KSPN Danau Toba
Baca juga: Danau Sentani disiapkan untuk jadi sumber air baku bagi masa depan Papua