Jakarta (ANTARA) - Kantor Staf Presiden RI (KSP) menekankan bahwa pembelajaran yang berlangsung di sekolah harus mengedepankan rasa sensitif terhadap hak kebebasan beragama dan supremasi hukum.
"Pemanfaatan di ruang publik harus sama antara agama dan keyakinan berbeda, gender berbeda, ras berbeda. Ini penting sekali kita sampaikan kepada anak-anak didik kita,” kata Tenaga Ahli Utama KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Dalam lokakarya guru lintas agama mengenai Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang diadakan di Semarang, Jawa Tengah pada Jumat (17/3), Ruhaini menuturkan tantangan untuk menjaga kemajemukan bangsa semakin kompleks terlebih dengan masifnya media sosial yang berpotensi sebagai sarana menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi.
Guru Besar Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu menilai sangat penting bagi para guru mewaspadai perilaku intoleransi yang kadang dianggap lazim oleh masyarakat.
Sebagaimana yang tertuang dalam Dokumen UNESCO berjudul "Tolerance: The Threshold of Peace", gejala atau perilaku intoleransi antara lain mencakup bahasa dalam hal penghinaan atau bahasa yang merendahkan, stereotip, menggoda atau mengejek, prasangka, mengambinghitamkan, pengasingan, diskriminasi, dan segregasi atau pemisahan paksa orang-orang dari berbagai ras, agama, jenis kelamin, biasanya merugikan satu kelompok termasuk apartheid.
Menurutnya, mengembangkan kemampuan guru dalam memahami LKLB bisa dijadikan salah satu upaya untuk menumbuhkan rasa sensitivitas ketika menghadapi hal tersebut.
Ia menyebutkan terdapat tiga kompetensi LKLB yakni mendorong seseorang memahami agamanya sendiri terutama dalam relasinya dengan orang yang berbeda agama (kompetensi pribadi), mengenal agama lain dan pandangan agama tersebut terhadap orang yang berbeda agama (kompetensi komparatif), serta mencari titik temu agar dapat berkolaborasi dengan orang yang berbeda agama (kompetensi kolaboratif).
"Kebebasan beragama bukan berarti bebas seenaknya melainkan harus berpedoman kepada supremasi hukum. Itulah sebabnya, narasi-narasi LKLB juga dibutuhkan sebagai pintu masuk untuk menegakkan supremasi hukum,” ujarnya.
Direktur Penguatan dan Diseminasi HAM Kemenkumham Sri Kurniati Handayani Pane mengakui keragaman di Indonesia seringkali menumbuhkan konflik dan kekerasan. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu mendorong adanya etika untuk membangun konsensus dalam masyarakat.
Dengan demikian, kesadaran multikultural harus dibangun dengan semangat empati, kesetaraan, dan toleransi kepada peserta didik.
“Tidak boleh satu kelompok mendominasi dan melanggar hak kelompok yang lainnya. Kelompok mayoritas tidak boleh melakukan hegemoni kepada kelompok minoritas. Semua ini menjadi penting dalam pendidikan sehingga tidak ada diskriminasi atas dasar ras, etnis, agama maupun gender,” ujarnya.
Baca juga: Ketua MPR RI ajak semua elemen perkuat toleransi beragama
Baca juga: Pentingnya menjaga toleransi beragama di Inhu
Berita Lainnya
BPS catat harga gabah dan beras pada November mengalami penurunan
02 December 2024 16:27 WIB
BPBD catat ketinggian banjir rob sempat 40 centimeter pada Senin pagi
02 December 2024 16:18 WIB
BRK Syariah sabet penghargaan sebagai pionir digitalisasi pemerintah daerah
02 December 2024 16:15 WIB
Airlangga sebut inflasi dan pertumbuhan ekonomi landasan UMP 6,5 persen
02 December 2024 14:14 WIB
Pasukan Israel tak berhenti serang Lebanon selatan meski ada gencatan senjata
02 December 2024 13:34 WIB
Dietisien: Tempe merupakan produk nabati yang baik untuk jantung
02 December 2024 13:23 WIB
Kemenag tunggu undangan DPR soal pembahasan biaya penyelenggaraan haji
02 December 2024 12:47 WIB
Badan Gizi Nasional tinjau dapur penyedia makan bergizi di lanud
02 December 2024 12:34 WIB