Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 melaporkan tingkat konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia di tahun 2020 adalah sebesar 16,27 kilogram (kg)/kapita/tahun, namun angka tersebut masih di bawah negara-negara kawasan.
Sebut saja negara tetangga yakni Malaysia yang mencatatkan konsumsi susu masyarakatnya sebesar 26,2 kg/kapita/tahun, Thailand sebanyak 22,2 kg/kapita/tahun, dan Myanmar yang mencapai 26,7 kg/kapita/tahun.
Salah satu penyebab tingkat konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia yaitu rendahnya populasi sapi perah di tanah air.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada 2021, jumlah sapi perah di Indonesia hanya sebanyak 578.579 ekor, dengan produksi susu segar dalam negeri sebesar 962,68 ribu ton per tahun.
Produksi tersebut tentunya tak cukup jika dibandingkan dengan total kebutuhan susu yang sebanyak 4,42 juta ton per tahun.
Tak berhenti sampai di situ, penyebab lain rendahnya konsumsi susu masyarakat Indonesia adalah faktor biologis, yaitu intoleransi laktosa atau kondisi saat seseorang tidak mampu mencerna laktosa atau gula dalam produk susu sepenuhnya karena kekurangan enzim laktase yang terdapat di dalam saluran pencernaan.
Kondisi tersebut banyak ditemui dalam populasi di Asia dan Afrika. Sementara ditemukan pula beberapa di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Australia.
Intoleransi laktosa umumnya banyak terjadi pada orang tua zaman sekarang, lantaran saat kecil tak dibiasakan untuk rutin mengonsumsi susu.
Namun, sebenarnya intoleransi laktosa dapat diatasi dengan mencari susu yang memiliki kandungan laktosa rendah atau bahkan bebas laktosa.
Selain itu, susu nabati seperti susu kedelai, susu gandum, susu pisang, hingga susu beras juga bisa menjadi alternatif.
Adapun konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia selama lima tahun terakhir cenderung stagnan, dari yang sebesar 16,29 kg/kapita/tahun pada 2017, 16,49 kg/kapita/tahun di 2018, 16,23 kg/kapita/tahun pada 2019, serta 16,27 kg/kapita/tahun di 2020.
Oleh karenanya, konsumsi susu tersebut harus ditingkatkan agar Indonesia tak tertinggal oleh negara lain. Susu mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.
Untuk orang dewasa, satu gelas susu bisa memenuhi gizi harian sebanyak 20 persen protein, 15 persen lemak, 9 persen energi, 4 persen kalium hidrida, 3 persen kolesterol, serta 40 persen sampai 45 persen kalsium/vitamin A/B6/B12.
Kemudian satu gelas susu sehari juga memenuhi gizi harian orang dewasa berupa 20 persen sampai 30 persen vitamin B1/B2/D/E/P, 10 persen vitamin B5/zinc/magnesium, 5 persen natrium/kalium, 2 persen sampai 15 persen zat besi (difortifikasi), dan sebagainya.
Dengan tingginya zat gizi yang ada, tentunya manfaat susu tak main-main, seperti meningkatkan sistem imunitas tubuh, meningkatkan kecerdasan otak dan daya nalar, menyokong pertumbuhan fisik dan mencegah stunting, serta sumber energi dan zat gizi.
Tak hanya itu, susu juga bermanfaat untuk membantu regenerasi sel, menunjang tumbuh kembang anak, menjaga kesehatan mata, dan mudah dicerna tubuh.
Bahkan, mengonsumsi 1-2 gelas susu sehari menurunkan risiko berbagai penyakit, seperti osteoporosis, alzheimer, gangguan kognitif, sindrom metabolik, obesitas, diabetes, dan hipertrigliseridemia.
Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia Hardinsyah menyarankan untuk mengonsumsi susu minimal satu gelas per hari atau minimal 250 mililiter (ml) dan maksimal lima gelas per hari atau 1.250 ml, kecuali untuk orang dengan kondisi tertentu.
Bagi ibu hamil, satu gelas susu sehari selama kehamilan bisa memperpanjang tulang janin, sehingga akan mencegah stunting. Apalagi saat ini pemerintah sedang berfokus mencegah stunting.
Maka dari itu, sangat banyak manfaat susu untuk mencegah berbagai penyakit yang ada sehingga memang harus terus ditingkatkan konsumsinya.
Semenjak pandemi COVID-19 melanda tren hidup sehat semakin digiatkan masyarakat dengan gemar berolahraga. Hal tersebut tentunya bisa ditambah dengan peningkatan konsumsi susu.
Survei Hebalife Nutrition pada 2020 mencatat konsumsi makanan sehat dan olahraga yang rutin kian menjadi tren di Asia Pasifik, dengan tiga dari lima orang percaya mereka akan lebih sehat di era normal baru.
Kian meningkatnya kesadaran akan urgensi pola hidup sehat dan olahraga menguatkan peran susu sebagai bagian dari penerapan gaya hidup sehat saat ini.
Untuk itu, peningkatan konsumsi susu bisa digiatkan dengan menjadikan konsumsi susu sebagai kebiasaan dan gaya hidup kekinian.
Selain itu, peningkatan konsumsi susu juga bisa dilakukan dengan inovasi dari para produsen susu untuk memberi variasi pada produk susu yang dijualnya.
PT Frisian Flag Indonesia (FFI) menyadari pentingnya melakukan inovasi untuk produk susu yang dijualnya, dengan menghadirkan berbagai varian rasa unik seperti ketan hitam, jahe, kelapa, dan sebagainya. Namun varian susu FFI yang masih banyak digemari sejak dahulu hingga kini adalah cokelat.
Selain rasa dan kemasan, format produk susu FFI juga terus diinovasi. Bahkan, FFI turut menghadirkan produk susu khusus berupa krim kental manis bernama Omela yang bisa dicampur dengan berbagai macam kopi.
“Selama 100 tahun mendampingi keluarga Indonesia dari generasi ke generasi, Frisian Flag menyaksikan bagaimana susu telah berevolusi. Bukan hanya menjadi asupan yang menyehatkan, tapi telah menjadi bagian dari gaya hidup sehat yang kekinian," tutur Corporate Affairs Director FFI Andrew Saputro.
Sebagai perusahaan, FFI berkomitmen untuk terus menghadirkan kebaikan susu di setiap tahap dan sisi kehidupan, melalui kehadiran rangkaian inovasi produk sesuai tahapan usia bagi seluruh anggota keluarga dengan format terlengkap, sehat, berkualitas. dan terjangkau.
Baca juga: Perlukah anak di atas usia dua tahun masih diberi susu?
Baca juga: Manfaat susu kambing untuk kesehatan tubuh
Menggiatkan konsumsi susu nasional untuk gaya hidup yang lebih sehat
Survei Hebalife Nutrition pada 2020 mencatat konsumsi makanan sehat dan olahraga yang rutin kian menjadi tren di Asia Pasifik, dengan tiga dari lima orang percaya mereka akan lebih sehat di era normal baru