Selatpanjang (ANTARA) - Uang jaminan pelaksanaan pekerjaan pembangunan Jembatan Selat Rengit (JSR) diduga dilalaikan oleh Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti, pasalnya hingga saat ini belum berhasil mengambil uang daerah sebesar Rp22 miliar lebih dari Bank DKI.
Untuk diketahui, pekerjaan JSR tersebut dilaksanakan dengan tahun jamak atau multiyears pada 2012 - 2014. Nilai pekerjaan pembangunannya mencapai sebesar Rp446 miliar.
Saat itu, uang jaminan pekerjaan dititipkan pihak rekanan PT Nindia Karya sebesar lima persen atau Rp22 miliar lebih di Bank DKI. Namun setelah putus kontrak pada akhir 2014,tidak ada upaya klaim uang jaminan yang menjadi anggaran daerah pemerintah setempat.
Apalagi sejak putus kontrak pada 31 Desember 2014 silam, akhirnya gugatan dilakukan pada tahun 2020 dan prosesnya memakan waktu yang panjang. Gugatan itu sesuai dengan nomor perkara 631/P.td.G/2020/PN-JKT.Pst di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan penggugat Abu Hanifah.
Sementara pihak tergugat diantaranya PT Asuransi Mega Pratama, Bank DKI Kantor Pusat Cg PT Bank DKI Cabang Walikota Jakarta Barat dan PT Nindya Karya (persero) - PT Relis Safindo Utama-PT Mangkubuana Hutama Jaya (join operational/JO).
Dengan pokok perkara, dimana pihak PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Pengadilan menyatakan surat jaminan uang muka (advance payment-Bond) dengan nomor bond : PL01.630.208C.0007/S.0295391 tanggal 3 Desember 2012 yang dikeluarkan PT Asuransi Mega Pratama dan surat jaminan pelaksanaan atau garansi bank yang dikeluarkan Bank DKI nomor 154.186/WKJB-ASK/X/2012 tanggal 25 Oktober 2012 sebesar Rp22.380.569.350 adalah sah dan berharga.
Pihak PN Jakarta Pusat menyatakan pihak PT Asuransi Mega Pratama, Bank DKI, dan PT Nindya Karya (persero) telah melakukan wanprestasi atau gagal bayar. Gugatan tersebut didaftarkan pada Senin 2 November 2020 lalu.
Namun gugatan tersebut ditolak pada Kamis 6 Januari 2022 seperti yang tertera dalam website resmi PN Jakarta Pusat (SIPPPN Jakarta Pusat).
Abu Hanifah yang menjadi penggugat merupakan Plt Kadis PU Kepulauan Meranti pada saat gugatan tersebut didaftarkan. Hal itu menjadi konsekuensi atas jabatannya saat itu mengingat pekerjaan terkait berada di Dinas PU Meranti.
Dia mengakui saat ini tidak mengikuti perkembangan dari sidang perdata untuk mengusut uang jaminan pembangunan JSR. Akan tetapi, dipastikannya bahwa dirinya yang melakukan penggugatan karena menjadi kewenangannya saat itu sebagai Plt Kadis PU.
Dijelaskan Abu, yang digugat adalah uang jaminan pekerjaan yang berada di Bank DKI yang nilainya sekitar Rp22 miliar lebih. Menurutnya, masa klaim idealnya dilakukan paling lama 14 hari setelah putus kontrak. Hal itu sesuai dengan Kepres 80 Tahun 2003.
"Memang uang jaminan tersebut menjadi kerugian negara, jika tak berhasil diambil dari pihak Bank DKI," ujarnya.
Ia menjelaskan hal tersebut sebab dirinya pernah mengalami keterlambatan dalam mengklaim uang jaminan pekerjaan saat bertugas di Kabupaten Rokan Hilir. Setelah menjadi temuan BPK,terpaksa dirinya harus mengembalikan uang bersama atasannya (kepala dinas).
"Nilainya seratusan juta rupiah. Tapi itulah yang menjadi konsekuensi kita," ungkap Abu Hanifah.
Terkait pekerjaan JSR,Abu Hanifah menyebutkan Kepala Dinas PU yang menjabat saat pemutusan kontrak tersebut adalah Ardhani.
Terpisah, mantan Kepala Dinas PU Kepulauan Meranti Ardhani MT yang saat ini menjadi Staf Ahli Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru yang coba dikonfirmasi lewat seluler membantah tidak melakukan klaim.
"Hal itu tidak benar. Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti melalui Dinas PU sudah mengajukan klaim Jaminan Pelaksanaan "Bank Garansi" kepada Bank DKI Cabang Walikota Barat pada 31 Desember 2014saat pemutusan kontrak sesuai ketentuan," ucapnya.
"Bank DKI sebagai penjamin hingga saat ini, informasi yang diterima belum mencairkan klaim jaminan pelaksanaan tersebut," tambah Ardhani lagi.