Ekskalasi bencana alam di Indonesia diprediksikan terus meningkat setiap tahun. Hal tersebut disebabkan berbagai hal, mulai dari kondisi cuaca yang semakin tak menentu, hingga pola hidup masyarakat yang kurang bersahabat.
Contoh sederhana makin "menggilanya" berbagai bencana terpetakan di Provinsi Riau. Mulai dari banjir, kabut asap akibat dampak dari maraknya kebakaran hutan dan lahan hingga kekeringan dan gempa bumi yang akhir-akhir ini memang kerap terjadi secara rutin di provinsi yang dikenal kaya akan minyak ini.
Kondisi demikian sudah seharusnya diantisipasi sejak dini secara serius oleh berbagai pihak terkait di pemerintah daerah agar tidak menimbulkan korban dan kerugian yang lebih besar.
Namun, pola bencana di Riau saat ini mulai berubah drastis dan tak lagi bisa diprediksi secara nyata dan berkala.
Sepanjang tahun 2011 lalu saja, telah terjadi beberapa kali banjir bandang yang menimbulkan kerugian materil tak sedikit. Ditambah lagi kekeringan dan terjangan angin puting beliung yang merusak sejumlah rumah penduduk di Kabupaten Rokan Hulu. Beruntung saja, gempa bumi yang melanda Riau awal tahun 2012 tidak sempat merubuhkan bangunan dan menimbulkan korban jiwa.
Pembalakan hutan dan ekspansi kebun kelapa sawit ditengarai menjadi penyebab utama bencana banjir dan kekeringan termasuk kabut asap di Riau
Air yang tak terserap tanah di musim penghujan dan cadangan air yang diserap di musim kemarau merupakan sifat yang merugikan dari tanaman kelapa sawit.
Akibatnya, ikan-ikan mati, eceng gondok subur, alur pelayaran sungai terganggu, dan pinggir sungai mengalami abrasi, debit air yang minim mengganggu kesehatan masyarakat dan banyak lagi dampak negatif akibat ulah manusia ini.
Carut Marut Pengelolaan
Bencana alam tidak semata-semata sebuah hal yang datangnya dari Sang Maha Kuasa. Bencana alam yang terjadi di sebagian besar nusantara adalah akibat akumulasi dari carut marutnya pengelolaan sumber daya alam, demikian diungkapkan pemerhati sekaligus pakar lingkungan Hariansyah Usman.
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau ini menngindikasikan, lebih dari 80 persen bencana alam yang terjadi di Riau merupakan dampak dari kesalahan berbagai pihak dalam mengelola sumberdaya alam.
Turunannya, yakni praktik eksploitasi yang tidak pernah mengupayakan keseimbangan ekosistem, hal ini yang kemudian menimbulkan dampak bencana alam disebagian besar wilayah Indonesia tidak terkecuali Riau.
"Katakanlah seperti banjir, asap akibat polusi udara dan kebakaran hutan, kekeringan, semuanya adalah fakta realitas yang dilakukan oleh manusia," katanya.
Pola kehidupan masyarakat yang berpusat pada daerah yang memiliki sumber air dan lahan saat ini kurang mencermati dampak dari instanisasi pengelolaan, termasuk pengembangan lahan perkebunan yang terus menerus "menggerogot" kawasan keanekaragaman hayati.
Hulu persoalannya adalah kontrol yang kurang baik serta tidak ada program perlindungan daya ekosistem yang nyata. Ditambah lagi manusianya yang rakus demi kepentingan ekonomi semata.
"Ini yang seharusnya kita lihat, di mana kearifan lokal itu sangat dibutuhkan untuk mempertahankan alam tanpa bencana," kata Hariansyah.
Kearifan lokal budaya masyarakat setempat juga sangat dibutuhkan untuk mendeteksi dini bencana alam bahkan mencegahnya secara bersama.
Namun kearifan lokal ini tahun ke tahun kian terkikis, bahkan lambat laun akan hilang atau dihilangkan secara sistematis. "Fakta ini sesuai dengan pengamatan kami di lapangan," katanya.
Kebijakan Pembangunan
Kearifan lokal dalam kontrubisi terhadap alam kemudian tidak pernah di tindaklanjuti secara nyata oleh pemerintah di daerah, terlebih dalam menentukan kebijakan pembangunan yang seharusnya bisa diambil menjadi sample masa depan bangsa dalam menjaga lingkungan agar terhindar dari bencana alam.
Paradigma pembangunan saat ini menurut dia masih ekonomiriantit dan lebih mementingkan kepentingan investasi ketimbang dampak alam yang akan dihadapi di kemudian hari.
Hal demikian yang kemudian, kata dia, memberanguskan kearifan-kearifan lokal atau tradisional masyarakat adat Tanah Air dalam menjaga keutuhan atau mempertahanankan lingkungan yang bersahabat.
Walhi sendiri sebagai kelompok organisasi pencinta lingkungan sudah sejak akhir 90-an, mendesak dan mengajak pemerintah untuk melakukan moratorium hutan atau jeda tebang. Di mana dalam kondisi kritis saat ini, kata Hariansyah, baik itu menurunnya sumberdaya alam terbaharukan, baik mineral maupun tambang migas yang kian terberanguskan, kemudian menyusutnya hutan alam yang sangat signifikan.
"Hal ini yang kemudian memunculkan dampak negatif termasuk bencana alam dan mungkin krisisnya energi masa depan," katanya.
Sudah saatnya, demikian Hariyansyah, pemerintah mengambil kebijakan untuk menghentikan dulu eksplotitasi dan beri kesempatan untuk alam bisa lagi berkembang hingga mampu menangkal berbagai bencana yang saat ini kian rutin melanda berbagai kawasan Tanah Air.
"Kita perbaiki tata kelolanya terlebih dahulu. Jika ini dilakukan secara benar, maka akan ditemukan jalan keluar perbaikan lingkungan jangka panjang," katanya.
Minimal, menurut dia, untuk moratorium guna berbaikan lingkungan itu adalah 15 tahun, tidak cukup dua tahun mengingat kondisi kritis di lapangan, termasuk terus berkurangan emisi karbon.
Dalam waktu jedah itulah, menurut Hariansyah, sebenarnya dapat dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat bagaimana ke depan mengelola sumber daya alam dengan cara yang baik hingga tidak memunculkan dampak bencana.
"Pertama harus dimulai dari pemerintah sendiri, salah satunya yakni dengan memberi kesempatan terhadap masyarakat tentang hak-hak mereka.
Keluarkan regulasi yang jelas bagaimana negara itu mengakui hak-hak masyarakat adat yang berada di masing-masing daerah," katanya.
Untuk sekarang ini, seperti yang sama diketahui, katanya, masyarakat selalu dikalahkan dengan "keserakahan" perusahaan atau investor. Di mana faktahnya, dengan mudahnya mereka (masyarakat) digusur hanya dengan lembaran surat demi kepentingan industri yang menurutnya lebih banyak dampak negatifnya ketimbang peran sosialnya.
Sebaiknya, untuk mengatasi bencana rutin, demikian Hariansyah, pemerintah menginventarisir hak-hak wilayat masyarakat adat yang begitu kaya.
Selain itu, sebaiknya juga dalam pembangunan pemerintah melibatkan masyarakat adat agar tata kelola sumber daya alam tidak terganggu.
Artinya, pengelolaan lingkungan berkelanjutan atau "environmental management" dapat berjalan dengan baik apabila ada interaksi seimbang antara kebutuhan akan alam dan sistem pengelolaan terpadu yang dijalankan. Baik oleh masyarakat setempat ataupun pemerintah.
Budaya masyarakat memberikan gambaran yang nyata bagaimana suatu wilayah yang memiliki sumberdaya akan tetap terjaga sebagai aset berharga yang dapat dimanfaatkan secara terus-menerus.
Kearifan lokal akan menjadi suatu pegangan bagi masyarakat dan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, khususnya di bidang lingkungan hidup, agar daerah ini tidak lagi didera oleh aneka bencana di masa mendatang.
Berita Lainnya
Tangani hukum dengan kearifan lokal, Kejati Riau dan LAMR resmikan Bilik Damai
31 July 2024 16:06 WIB
Roti lapis dengan kearifan lokal se'i sambal luat hadir di Subway Indonesia
06 August 2022 16:16 WIB
Mempertahankan usaha dengan kearifan lokal di masa pandemi COVID-19
29 November 2021 10:47 WIB
Bangkitkan pariwisata dengan nilai-nilai kearifan lokal
27 September 2021 9:52 WIB
Warga Desa di Ukui Panen Madu dengan Kearifan Lokal
10 October 2017 17:30 WIB
AOC: Tunjukkan Dukungan Terhadap Pariwisata Riau Dengan Promosi Kearifan Lokal
21 July 2016 22:31 WIB
Serapan naker lokal oleh perusahaan di Riau masih minim
14 March 2023 19:27 WIB
ASPEKUR siap meriahkan Festival Lancang Kuning, Ketum: Kami sajikan makanan terenak
21 April 2024 22:14 WIB