Jakarta (ANTARA) - COVID-19 bukan hanya menyebabkan masalah pada pernapasan, tetapi dampaknya bisa lebih dari itu. Sebuah penelitian dari Universitas Oxford di Inggris menemukan, para penyintas atau yang selamat dari COVID-19 berisiko lebih tinggi terkena penyakit mental, seperti kecemasan dan depresi.
Selain itu, mereka juga lebih mungkin mengembangkan demensia, menurut penelitian yang diterbitkan dalam The Lancet Psychiatry pada 9 November itu.
Baca juga: Gugah kesadaran kesehatan mental dan ruang cerita melalui akses konten digital
Untuk sampai pada temuan ini, para peneliti menganalisis catatan kesehatan elektronik dari 69 juta orang di Amerika Serikat, termasuk lebih dari 62.000 orang yang menderita COVID-19.
Mereka menemukan, 20 persen mereka yang terinfeksi virus corona didiagnosis dengan gangguan kejiwaan dalam waktu 90 hari.
"Orang-orang khawatir orang yang pulih dari COVID-19 akan menghadapi risiko lebih besar terkena masalah kesehatan mental, dan temuan kami menunjukkan hal ini mungkin terjadi," kata Paul Harrison, seorang profesor psikiatri di Universitas Oxford, seperti dilansir Health.
Meskipun temuan ini menambah semakin banyak bukti COVID-19 dapat berdampak pada kesehatan mental serta kesehatan fisik, tetapi tidak diketahui mengapa virus tampaknya meningkatkan risiko penyakit kejiwaan.
"Menghadapi kemungkinan tidak selamat dari suatu kondisi sangat menakutkan. Masuk akal jika peristiwa seperti itu akan memicu kondisi kesehatan mental terutama bagi mereka yang mengalami penyakit berat termasuk rawat inap atau periode pernapasan," kata psikiater Margaret Seide.
Menurut psikiater Julian Lagoy, faktor isolasi atau karantina perlu menjadi bahan pertimbangan. Dia mengatakan, menjalani karantina dan isolasi bisa sangat merusak kesehatan mental Anda.
Jika Anda memiliki kasus COVID-19 yang parah, stres dan kekhawatiran tentang kesehatan fisik Anda secara alami akan berdampak pada kesehatan mental Anda.
Baca juga: Ciri-ciri anak sehat secara mental
Studi Universitas Oxford menemukan, orang dengan penyakit mental yang sudah ada sebelumnya 65 persen lebih mungkin didiagnosis dengan COVID-19 daripada mereka yang tidak.
"Ini sangat menarik. Saya menduga ini mungkin karena orang dengan penyakit mental lebih cenderung menunjukkan perilaku berisiko, yang membuat mereka berisiko terkena COVID-19," tutur Lagoy.
Misalnya, jika mereka cenderung tidak diisolasi dan dikarantina karena dapat memperburuk penyakit mental mereka, maka orang-orang ini lebih mungkin berkumpul bersama orang lain. Namun, risiko mereka terkena COVID-19 kemudian lebih tinggi.
Orang yang menderita penyakit mental juga cenderung tidak dapat secara efektif mengelola kondisi kronis seperti diabetes, yang dapat meningkatkan risiko COVID-19.
Di sisi lain, mereka yang memiliki riwayat kondisi kejiwaan seperti gangguan bipolar, depresi, dan skizofrenia, juga meningkatkan risiko terinfeksi virus corona.
Seseorang tidak harus terdiagnosis COVID-19 untuk merasakan dampak pandemi pada kesehatan mental.
Pada Agustus, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) melaporkan 40 persen orang dewasa di Amerika khususnya dewasa muda, ras dan etnis minoritas, pekerja esensial, dan pengasuh yang tidak dibayar, mengalami kondisi kesehatan mental yang merugikan secara signifikan.
Baca juga: Selena Gomez rilis kosmetik merek miliknya untuk bantu masalah kesehatan mental
Baca juga: Michael Phelps ajak olahragawan jaga kesehatan mental
Pewarta : Lia Wanadriani Santosa