Kisah Penzaliman TKI Terdeportasi

id kisah penzaliman, tki terdeportasi

Seorang wanita bertubuh kurus yang mengenakan gaun putih polos terlihat turun dari sebuah kapal fery Dumai Expres 09 yang tiba di Pelabuhan Kota Dumai, Riau, Jumat (15/7) tepat pukul 14.00 WIB.

Dia berjalan menuju mesin pemeriksaan barang (X-Ray) yang dikawal ketat oleh para petugas dari Kantor Penindakan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) setempat.

Cukup banyak barang yang dibawanya, terdiri atas dua tas berukuran besar dan tiga tas jinjing berukuran sedang.

Usai memeriksakan barang bawaan, wanita ini kemudian menuju pintu gerbang pelabuhan untuk duduk sejenak di teras bangunan yang baru saja mengalami kerusakan hebat. Langit-langit atau plafon yang berada pada ruangan tunggu, rubuh dan melukai sedikitnya satu orang pengunjung pelabuhan yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Cabang Dumai itu.

Tidak lama duduk dengan menyilangkan kedua tungkainya yang terlihat dipenuhi varises, sebuah penyakit pelebaran vena pada permukaan tungkai, segerombolan pria dan wanita dewasa menyusul dan turut duduk di samping kiri kanan wanita bernama Bariah itu.

"Kita baru saja di deportasi dari Malaysia," kata wanita berusia 47 tahun ini.

Bariah mengisahkan, pemulangan secara paksa oleh pemerintah Negeri Jiran tidak hanya terjadi pada dirinya, ada sekitar 200 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mengalami nasip serupa dengan wanita asal Sumatra Utara ini.

Dari Malaysia, diakui Bariah, pemerintah Malaysia sebelumnya mengirimkan mereka melalui jalur transportasi laut menuju Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau.

"Di sana kami di ditampung, dikasih penginapan sementara dan baru hari ini (Jumat 15/7-red) dipulangkan ke kampung masing-masing," katanya.

Dikatakan Bariah, ada sebanyak 20 orang TKI seperti dirinya yang diberangkatkan dari Tanjungpinang menuju Dumai untuk kemudian diberangkatkan ke daerah asal masing-masing.

"Di antara kami ada yang berasal dari Jambi, Sumatra Utara dan ada juga yang berasal dari Aceh," kata seorang pria yang duduk tepat di samping kiri Bariah.

Pria ini bernama Iman, 51 tahun, dan mengaku sebagai TKI ilegal yang dipulangkan setelah terjaring razia oleh pemerintah Malaysia saat berada di Selanggor.

Di Selangor, Malaysia, Iman mengaku bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan tidak kurang dari Rp5 juta setiap bulan.

"Tapi dari hasil keringat saya itu, tidak semuanya dapat saya nikmati. Saya juga harus menyetor ke orang-orang asli Malaysia yang tahu kalau saya tidak memiliki paspor resmi.

Mereka selalu menakut-nakuti saya. Agar kerahasiaan tetap terjaga, saya diminta untuk memberikan uang sekitar Rp1 juta setiap bulan. Bahkan terkadang mereka meminta lebih," kata pria yang mengaku memiliki tiga anak ini.

Lain halnya Bariah, wanita ini memiliki kisah tersendiri tentang Negeri Jiran, Malaysia. Selama kurang dari tiga tahun, Bariah bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang menangani semua pekerjaan rumahan mulai dari memasak, bersih-bersih, berkebun dan memijat sang majikan.

"Awalnya semua enak, saya digaji sekitar Rp3 juta per bulan," kata dia.

Setelah satu tahun kemudian kalau tak salah 2009, kata Bariah, keadaan berubah seratus sembilan puluh derajat. Puncaknya ketika bisnis sang majikan mulai berantakan dan tidak lagi mendatangkan hasil materi berlimpah.

"Majikan saya ini berbisnis dagang makanan siap saji di tempat wisata kuliner di Selangor, Malaysia. Pada waktu itu, sekitar tahun 2009, lahan yang ditempatinya digusur entah karena apa, namun yang jelas akibatnya kondisi keluarga mulai kacau balau," ujarnya.

Setiap hari, kata Bariah, semua pekerjaannya selalu dipandang salah. Makian menjadi "santapan" hangat baginya.

"Parahnya, gaji saya juga terus ditahan, bahkan pembayarannya mau sampai tiga bulan sekali, itu pun nggak sebesar sebelumnya. Gaji saya dipotong lima puluh persen jadi Rp1,5 juta. Dengan gaji segini saya nggak bisa mengirimkan uang ke anak sama suami saya di Medan," katanya.

Bariah mengaku terpaksa pasrah menjalani kondisi tersebut karena sang majikan mengancam akan melaporkan status kedatangannya yang ilegal.

"Saya akhirnya melarikan diri dari rumah majikan saya itu. Ya, cari-cari kerjaan lain yang bisa mendatangkan hasil yang lebih besar pastinya. Tapi akhirnya tertangkap juga sama imigrasi di sana," katanya.

"Yang jelas di sana (Malaysia-red), hampir semua TKI hidup sengsara, hanya satu dua saja yang senang, itu pun karena beruntung saja," kata Junani, TKI lainnya.

Junaidi mengaku berasal dari Provinsi Aceh. Pria 43 tahun ini mengaku telah lima tahun tinggal di Dumai dan sudah sejak lama meniatkan diri untuk kembali ke tanah air.

"Niat mau pulang sudah sejak lama, tapi karena terlilit utang saya terpaksa sampai selama itu," katanya.

Selama di Malaysia, Junaidi mengaku sempat beberapa kali di penjara akibat kasus kejahatan yang sama sekali tidak pernah dilakukannya.

"Saya pernah dituduh mencuri, padahal saya tidak pernah mencuri. Saya juga pernah dituduh merusak barang orang, padahal juga tidak pernah," ujarnya.

Waktu ditahan di kantor polisi Malaka, kata Junaidi, ada seseorang yang menebus dan menjamin dirinya. "Orang itu yang selama ini menjadi majikan saya dan nggak pernah membayarkan hasil keringat saya," katanya.

Kata Junaidi, banyak TKI di Malaysia yang terzalimi, namun terkurung tidak bisa pulang ke tanah air akibat tekanan dan ancaman yang kian hebat.

Menurut dia, tidak sedikit juga TKI perempuan yang mengalami penyiksaan fisik, dan akibatnya banyak dari mereka frustrasi dan menjalani hidup dengan menjadi wanita penjaja seks komersial.

"Yang jelas, tidak ada enaknya tinggal atau bekerja di negeri orang," kata Junaidi.

Ibarat kata pepatah, "daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri, bagaimanapun senangnya hidup di negeri orang, masih lebih senang hidup di negeri sendiri," tuturnya.

Sepenggal pribahasan ini mengambarkan kondisi para tenaga kerja Indonesia yang kini terdeportasi. Tidak ada yang dapat mereka berikan terhadap keluarga, bangsa dan tanah air, selain kisah tentang penzaliman dan kesengsaraan yang mendalam.