Balada petani sawit Pelalawan terancam kehilangan mata pencaharian

id Eksekusi sawit, Riau, Pelalawan,Desa Gondai

Balada petani sawit Pelalawan terancam kehilangan mata pencaharian

Ratusan petani sawit Desa Gondai, Pelalawan, Riau menolak eksekusi perkebunan sawit (ANTARA/Anggi Romadhoni)

Dulu saya memilih Pak Jokowi dengan harapan bisa berpihak pada rakyat kecil seperti kami
Pekanbaru (ANTARA) - Radisman, petani berusia 51 tahun itu terduduk lemas. Tatapan matanya kosong melihat lima ekskavator berbaris hilir mudik menumbangkan satu per satu pohon kelapa sawit.

Bapak lima anak itu memilih diam. Suara lantangnya tak lagi terdengar. Perlawanan bukan lagi sebuah pilihan, dan dia lebih memilih bertahan. Tak banyak yang dia dan ratusan masyarakat Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Pelalawan, Riau, itu bisa dilakukan.

Sedikitnya ada 500 personel gabungan mulai dari Polres Pelalawan, Polisi Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga aparat TNI berada tak jauh dari hadapan Radisman. Mengawal ekskavator menumbangkan sawit yang membuat pilihan mereka semakin sempit. Jelas, perlawanan hanya akan sia-sia karena beberapa petugas tampak menenteng senjata.

Jumat siang (17/1)merupakan hari yang tak pernah diharapkan oleh ratusan petani sawit plasma Desa Gondai yang berinduk di PT Peputra Supra Jaya (PSJ).

Tahap awal, ada lima eksavator tengah menumbangkan deretan sawit produktif di perkebunan yang berdiri sejak medio 1997 itu. Jumlah ekskavator akan terus bertambah hingga 40 unit untuk meratakan pohon, tempat bagi ribuan jiwa menggantungkan mimpi di desa tersebut.

Eksekusi itu merupakan pelaksanaan dari putusan Mahkamah Agung MA Nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018. Total 3.323 hektare hamparan sawit yang menjadi target eksekusi.

Sebagian di antaranya merupakan lahan inti PT PSJ. Sementara ribuan hektare sisanya merupakan lahan plasma, salah satunya milik Radisman. Pohon-pohon sawit yang awalnya berdiri kokoh tak kuasa bertahan dengan gempuran baja keras. Pemusnahan pohon sawit produktif tinggal menunggu waktu hingga sampai ke lahan plasma masyarakat.

Radisman dan ratusan warga yang marah sempat menyampaikan aspirasinya kepada polisi yang mengawal kegiatan eksekusi. Mereka membawa semua anggota keluarga. Mulai dari bayi, anak-anak hingga sesepuh mengiba belas kasih polisi agar berpihak pada mereka, para petani kecil yang hanya bertahan hidup dari kerasnya dunia.

Beberapa dari mereka menggunakan bahasa setempat. Namun, usaha itu sia-sia. Polisi berpangkat Ajun Komisaris dari Polres Pelalawan berulang kali meminta warga bubar.

"Sudah sejak 1998 kami di sini. Di sinilah tempat kami hidup, membangun keluarga. Kalau lahan kami ditumbangkan tak tau lagi mau ke mana," kata Radisman kepada Antara.

Dengan memakai kaos bergambar Presiden JokoWidodo yang dia dapat saat kampanye Pilpres 2019, Radisman hanya menggantungkan harapan kepada orang nomor satu di Indonesia itu. Dia yakin Presiden Jokowi tidak mengetahui permasalahan yang dia dan ratusan warga Desa Gondai itu hadapi.

Dan dia juga yakin jika Presiden mengetahuinya, maka persoalan ini akan dapat diselesaikan dengan bijaksana.

"Dulu saya memilih Pak Jokowi dengan harapan bisa berpihak pada rakyat kecil seperti kami. Kita hanya masyarakat biasa. Tolonglah supaya Pak Jokowi bantu kita, kita perlu makan, kalau ini diambil kita makan apa. Anak saya ada lima," ujarnya.

Kepala Seksi Penegakan Hukum DLHK Provinsi Riau, Agus yang memimpin kegiatan eksekusi itu mengatakan bahwa ada 3.323 hektare kebun kelapa sawit di sana yang dieksekusi aparat Kejaksaan Negeri Pelalawan. Eksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung nomor 1087 K/PID.SUS.LH/2018.

Dalam putusan itu, kata Agus, perkebunan sawit yang berdiri belasan tahun itu menyalahi regulasi karena masuk dalam kawasan konsesi tanaman industri. Dalam putusan juga disebutkan hamparan sawit itu akan dibumihanguskan untuk diserahkan ke PT NWR.

Namun, Agus membantah bahwa kegiatan yang dia dan ratusan personel gabungan itu lakukan merupakan eksekusi. Dia lebih memilih bahwa langkah yang dilakukannya adalah penertiban dan penanaman kembali menjadi tanaman hutan industri.

"Saya ingin luruskan, ini bukan eksekusi, tapi pemulihan dan penertiban kawasan hutan. Lahan ini masuk dalam kawasan konsesi PT NWR. Itulah makanya kita tertibkan, kita pulihkan menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), lantaran kawasan ini memang Kawasan Hutan Produksi," kata Agus.

Pada Jumat kemarin saja, tak kurang 10 hektare hamparan sawit rata dengan tanah. Usai ditumbangkan lahan itu langsung ditanami bibit akasia. Ratusan bibit akasia menyembul di balik "bangkai" sawit yang tumbang tak berdaya. Lengkap dengan pupuk kimia.

Sementara itu, meski ada penolakan masyarakat, dia mengatakan aksi eksekusi tetap akan dilakukan. Walaupun, saat ini ada upaya peninjauan kembali (PK) ditingkat MA.

"Meski ada penolakan, putusan Mahkamah Agung tetap kita laksanakan. Upaya PK juga tidak menghalangi upaya ini," ujarnya.

Pantauan Antara, sejumlah barak berdiri di lokasi eksekusi itu. Pengamanan turut melibatkan aparat Brimob. Mereka menyebar di sejumlah titik untuk mencegah masyarakat mendekat. Sementara, perwakilan PT NWR juga berada di lokasi, bersama dengan aparat yang tengah bertugas.

Tidak jauh dari lokasi eksekusi, ratusan masyarakat tampak bertahan dan memilih untuk tidak melawan. Mereka mendirikan tenda-tenda kecil, lengkap dengan dapur darurat. Pria wanita anak-anak bersama di dalam tenda, berjaga 24 jam.

Satria, salah seorang pemuda yang ditemui Antara mengatakan kegiatan eksekusi itu akan menyeret dua koperasi, Gondai Bersatu dan Sri Gumala Sakti. Dua koperasi itu merupakan anak angkat dari PT PSJ.

Pemuda 30 tahun itu mengatakan dua hektare sawit miliknya lah yang membuat dia bertahan hidup membesarkan dua anaknya anaknya. Dia juga dengan berani mengatakan tidak takut mati jika nanti eksekusi melebar ke lahan milik masyarakat.

"Satu pohon saja tumbang, maka kami siap untuk pertumpahan darah. Ini masalah perut. Ada ribuan warga yang menggantungkan hidup di sini," katanya.

Satria mengaku tidak tau menahu dengan PT NWR. Katanya, masyarakat selama belasan tahun hidup rukun dengan bergantung dari hasil sawit. Bahkan, dia juga menggadaikan sertifikat lahannya ke Bank milik pemerintah daerah. "Tidak ada masalah. Pinjaman kami dicairkan bank. Lha kok sekarang jadi begini," ujarnya.

Kuasa hukum Koperasi Gondai Bersatu, Asep Ruhiat dalam keterangan tertulisnya mengatakan tengah menyiapkan gugatan perdata kepada pihak terkait.

"Kami tengah menyiapkan gugatan perbuatan melawan hukum secara keperdataan kepada pihak-pihak terkait yang dengan arogansinya membabat habis sawit yg sedang produktif," kata Asep.

Dia menambahkan terdapat ribuan jiwa yang menggantungkan hidup mereka di kawasan perkebunan PT PSJ. Pemerintah, kata dia, diharapkan mencari solusi pemecahan masalah ini.

Perkara eksekusi ini berawal ketika PT PSJ dilaporkan oleh PT Nusa Wana Raya (NWR) ke Mabes Polri terkait Izin Usaha Perkebunan (IUP). Pada sidang tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pelalawan, majelis hakim memutuskan PT PSJ tidak bersalah hingga bebas demi hukum.

Kemudian PT NWR melakukan upaya banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA) yang kemudian mengabulkan gugatan tersebut. Namun, demikian Asep, saat ini upaya PK tengah berlangsung.

Masalah lebih besar lagi jika pengajuan PK yang dilakukan oleh PSJ dikabulkan, maka menurut Asep negara justru bisa menanggung kerugian.

"Bagaimana dengan tanaman yang sudah dieksekusi jika ternyata PK dikabulkan? Hal ini yang harus dipertimbangkan," kata Asep.

Dia berharap semua pihak menahan diri, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau sampai ada putusan PK. Asep juga berharap para pakar dan pegiat lingkungan tidak membangun opini publik dengan tidak mengatakan yang berbau negatif terhadap PT PSJ yang jelas pro rakyat.

Sementara itu, Basri Enggol tak habis pikir tiba-tiba ada izin konsesi tanaman industri di kampungnya, Desa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan. Enggol merupakan tokoh adat atau disebut Batin Pelabi, Desa Gondai.

Lelaki 60 tahun itu mengisahkan ninik mamak menggandeng PSJ untuk mewujudkan cita-cita membangun perkebunan sawit untuk masyarakat.

Masyarakat dan perusahaan sepakat luasan lahan itu dibagi dua, 50 persen untuk masyarakat dalam pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dan sisanya untuk perusahaan. "Jadi kalau dihitung-hitung, sudah 23 tahunlah Desa Pangkalan Gondai dan Desa Langkan bermitra dengan PT PSJ tadi," terangnya.

Di sisi lain, kata Basri, masyarakat tak pernah tahu menahu dengan NWR, setelah berperkara lah baru mereka tahu. Enggol tidak terima kebun mereka diganggu, pun kebun PSJ. Sebab menurut mereka lahan PSJ itu juga lahan mereka, bersumber dari mereka dan kemudian dibagi dua dalam aturan bapak dan anak angkat.

Enggol telah mengadukan nasib ratusan petani itu kepada Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR). Lebih jauh, dia juga mengatakan akan membawa permasalahan itu kepada Presiden Jokowi.

"Insya Allah paling lambat Senin kami akan menyusun rencana untuk melaporkan ini kepada Presiden Jokowi," kata

Bagi Basri, PSJ dan masyarakat adalah sama, sama-sama membangun kebun kelapa sawit itu. Dan dasar mereka memberikan tanah itu untuk dijadikan kebun pun ada. "Sebelum Indonesia merdeka, semua tanah ulayat kami sudah dipetakan, di mana-mana ulayat Batin Pelabi, jelas adanya. Dan itu sudah diukur," ujarnya.

Kalaupun kini masyarakat masih menahan diri kata Basri, bukan lantaran takut, meski ketakutan itu ada lantaran kalau melawan, risikonya bakal ditangkap. "Tapi dalam adat kami ada pepatah, kalau sarang lobah itu sudah dirusak, mau tak mau induk dan lobahnya akan melawan," katanya datar.