Apkasindo minta KLHK objektif terkait kawasan hutan

id Apkasindo, Riau, Sawit, KLHK

Apkasindo minta KLHK objektif terkait kawasan hutan

Ketua DPP Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung (kiri) bersama Gubernur Riau Syamsuar (dua dari kiri) melihat hasil produksi perkebunan sawit masyarakat. (ANTARA/HO Apkasindo)

Pekanbaru (ANTARA) - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta sejumlah organisasi nirlaba untuk objektif terkait penetapan kawasan hutan di Indonesia.

Kepala Departemen Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP-Apkasindo), Abdul Aziz di Pekanbaru, Kamis, mengatakan status kawasan hutan yang sekarang tengah didengungkan oleh KLHK justru telah menimbulkan gaduh, khususnya masyarakat yang tidak tahu menahu apa itu kawasan hutan.

"Urusan hutan sudah diatur dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Hakikat kawasan hutan itu kan sehamparan tutupan hutan yang ditetapkan dan dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan hutan," katanya.

Dia menjelaskan berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang 41 tahun 1999 disebutkan bahwa Pengukuhan Kawasan Hutan dilakukan oleh Pemerintah. Selanjutnya pada pasal 14 dan 15 undang-undang yang sama juga disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan wajib dilakukan untuk mendapatkan kepastian hukum.

"Pengukuhan kawasan hutan itu dilakukan dalam empat tahapan," ujarnya.

Tahapan itu di antaranya adalah penunjukan, pemetaan, penataan batas dan penetapan. Penataan batas, dilakukan untuk memisahkan antara hak masyarakat dan negara. Hakikat penataan batas itu, lanjutnya, adalah apabila ditemukan hamparan yang mencirikan hak-hak masyarakat, harus di-enclave (dikeluarkan dari hak negara).

"Lalu hak negara mesti dikasi patok atau dipagar. Itu aturan yang dibikin negara," tuturnya.

Akan tetapi, persoalan yang terjadi justru hak-hak masyarakat yang sudah jelas dan bahkan sudah dikuasai berpuluh bahkan ratusan tahun, masih juga diklaim sebagai kawasan hutan.

"Di Riau banyak buktinya. Salah satunya ada sekitar sembilan desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar yang sampai saat ini ada di kawasan hutan. Belum lagi kebun-kebun petani dan lahan yang secara eksisting sudah tidak hutan, masih diklaim kawasan hutan. KLHK ada tidak menjalankan aturan bahwa sekali lima tahun kawasan hutan harus diinventarisasi?," jelasnya.

Aziz menilai ada dua hal yang janggal yang terjadi pada kawasan hutan yang diklaim oleh KLHK. Pertama, patut diduga kalau kawasan hutan itu masih hanya penunjukan. "Berarti secara otomatis, ini belum mempunyai kekuatan hukum, sebab kawasan hutan harus dikukuhkan sesuai pasal 15 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan itu," kata Aziz.

Kemudian, ia menuturkan jika memang kawasan hutan itu sudah dikukuhkan tapi masih ada juga hak masyarakat, berarti ada yang tidak beres dengan penataan batasnya.

Dia menilai KLHK seharusnya berterimakasih kepada masyarakat khususnya petani kelapa sawit yang sudah memproduksikan kawasan yang selama ini diklaim KLHK sebagai hutan produksi, karena selama ini kawasan yang diklaim itu tidak produktif. Lalu oleh petani, ditanami sawit. "Tapi setelah kawasan itu produktif, justru masyarakat yang dipersalahkan. Dibilang menyerobot kawasan hutan," ujarnya lagi.

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia menyatakan terdapat 3,67 juta hektare kebun petani kelapa sawit di kawasan hutan, dari total luas kebun kelapa sawit di Indonesia 16,8 juta hektare (ha). Yayasan Kehati menyampaikan itu dalam pertemuan lintas sektor di gedung Rimbawan 2 Gedung Menggala Wanabakti, Jakarta, Rabu kemarin (23/10).

Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan KLHK, Herban Heryandana, yang hadir dalam kegiatan itu turut memaparkan sawit yang berada dalam kawasan hutan mencapai 3,177 juta ha.

Lahan terbesar di Hutan Produksi Terbatas (HPT) mencapai 1.318.001 ha, urutan kedua di Hutan Produksi yang dapat dikonversi mencapai 1.65.114 ha, lalu Hutan Produksi Tetap mencapai 521.431 ha, Hutan Lindung 152.932 ha, serta Hutan Konservasi mencapai 119.537 ha.

Untuk menyelesaikan keterlanjuran sawit petani masuk dalam kawasan hutan tadi, Direktur Supporting Palm Oil Sustainability (SPOS)-Kehati Irfan Bakhtiar menyodorkan solusi bahwa kebun sawit yang bisa ditolerir adalah yang berada di HPK.

Rincinya, kebun yang luasannya di atas 25 ha bisa dilepaskan melalui proses pengurusan izin oleh desa dan hasilnya diambil alih desa. Kemudian kalau luas kebun itu lebih kecil atau sama dengan 25 ha bisa didistribusikan kepada penduduk setempat. Kemudian solusi yang ditawarkan oleh Herban melalui perubahan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) atau dijadikan pola perhutanan sosial.

Aziz menilai solusi itu akan menjadi masalah baru. Kehati terkesan ingin membenturkan masyarakat tempatan dengan pendatang. Begitu juga solusi yang ditawarkan Herban. Menurut Aziz, jika KLHK sudah melakukan tata batas untuk ditetapkan menjadi kawasan hutan, tidak akan ada lagi hak-hak masyarakat di dalam kawasan itu.

"Sebab itu tadi, inti dari tata batas itu adalah memisahkan antara hak masyarakat dan hak negara termasuk juga memisahkan antara hak perusahaan dan masyarakat," tegasnya.