Kabul (Antarariau.com/Reuters) - Seorang pengebom melakukan serangan di ibu kota Afghanistan, Kabul, pada Selasa (20/11) hingga menewaskan lebih dari 50 orang, kata tiga pejabat pemerintah.
Si penyerang itu meledakkan dirinya di sebuah ruangan jamuan makan, tempat para cendekiawan Islam sedang berkumpul.
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Najib Danish, mengatakan serangan itu juga menyebabkan lebih dari 80 orang mengalami luka.
"Seorang penyerang meledakkan bomnya di dalam sebuah ruangan pesta pernikahan, saat para cendekiawan Islam berkumpul untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad," kata Danish.
Ruangan makan itu berada di gedung pernikahan Uranus, yang merupakan gedung tempat ruangan-ruangan pesta berada, di dekat bandar udara Kabul.
"Ratusan cendekiawan Islam dan para pengikutnya berkumpul untuk mengaji Al Quran dalam rangka merayakan Hari Kelahiran Nabi di ruang jamuan tersebut," kata kepolisian Kabul.
Para petugas di Rumah Sakit Penanganan Darurat di Kabul mengatakan 30 ambulans telah dikerahkan dengan segera ke tempat kejadian. Mereka mengungkapkan bahwa lebih dari 40 orang mengalami luka sangat parah.
Baik kelompok militan Sunni Taliban maupun kelompok setempat yang memiliki kaitan dengan IS pernah menyerang para cendekiawan agama yang bersekutu dengan pemerintah. Pemerintah Afghanistan telah menetapkan bahwa serangan bunuh diri adalah tindakan yang dilarang oleh Islam.
Taliban mengatakan dalam pernyataan bahwa "orang-orang kami tidak terlibat dalam ledakan Kabul itu dan kami mengutuk hilangnya nyawa-nyawa manusia".
Kelompok garis keras militan, IS, sebagian besar memusatkan serangan-serangan utama mereka di wilayah Afghanistan ke tempat-tempat ibadah kaum Muslim Syiah, yang dianggapnya sebagai kalangan pelaku bid'ah.
Presiden Afghanistan Ashraf Gani menyebut serangan Selasa itu sebagai tindakan "tidak Islami" dan "tidak bisa dimaafkan". Ia menyatakan Rabu sebagai hari berkabung.
Pasukan keamanan Afghanistan telah bergelut untuk mencegah serangan-serangan oleh kalangan kelompok garis keras sejak sebagian besar pasukan tempur Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ditarik pulang pada 2014.
Walaupun ada upaya-upaya diplomatik untuk mengakhiri perang selama 17 tahun itu, keadaan keamanan dalam beberapa bulan terakhir memburuk dengan cepat.
Pemerintah Kabul saat ini mengendalikan hanya 56 persen wilayah Afghanistan, turun dari 72 persen pada 2015, menurut laporan pemerintah Amerika Serikat yang dikeluarkan bulan ini.