Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pakar hukum pidana dari Universitas Riau, Dr Erdianto Effendi berpendapat bahwa perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) layak dipidana.
"Pelaku LGBT layak dipidana karena perilaku mereka bertentangan dengan hukum agama dan tata sosial masyarakat dan parahnya anak adalah satu dari tiga kelompok yang rentan untuk dijadikan sebagai korban kekerasan termasuk kekerasan seksual sebagai korban perilaku LGBT," kata Erdianto Effendi di Pekanbaru, Rabu.
Pendapat demikian disampaikannya terkait perlunya perlindungan anak dari perilaku LGBT dan saat ini DPR RI masih membahas hukuman pidana terhadap perilaku LGBT dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Erdianto, idealnya negara melarang perilaku LGBT sebab sebagai perbuatan tercela maka dinyatakan oleh hukum pidana sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Ia mengatakan, karena negara berfungsi sebagai regulator maka negara dalam hal ini hanya berperan sebagai regulator yang sekedar menformalkan keyakinan hukum masyarakat sehingga di masa datang tidak akan ada lagi pertentangan antara masyarakat dengan negara dalam memandang hukum.
"Sesuatu yang tercela bagi masyarakat, juga akan tercela di hadapan hukum negara. Sebaliknya, sesuatu yang tercela di hadapan hukum negara juga akan tercela di hadapan masyarakat,"katanya.
Ia memandang bahwa negara bertanggungjawab dan berkewajiban melindungi seluruh warga negaranya. Itulah sebabnya negara menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan yang dapat dipidana, walaupun perbuatan atas keinginan warga negara itu sendiri.
Penetapan perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana disebut kriminalisasi. Ada perbuatan-perbuatan tertentu yang dipandang sebagai perbuatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
"Kekuasaan untuk dapat menjatuhkan hukuman itu merupakan kekuasaan yang sangat penting. Karena akibat suatu hukuman adalah besar dan luas sekali sehingga menimbulkan pertanyaan, siapakah yang berhak menghukum?. Subyek hukum satu-satunya yang mempunyai 'ius puniendi' (hak untuk menghukum) ialah negara (pemerintah)," katanya.
Erdianto menekankan, di samping negara tiada subjek hukum lain yang mempunyai "ius puniendi" itu. Ditunjuknya negara sebagai pemegang "ius puniendi" bukan merupakan persoalan lagi.
"Akan tetapi beragam alasan yang membenarkan 'ius puniendi" diserahkan kepada negara dari berbagai pakar," katanya.
Ia menjelaskan ada hubungan antara "ius poenale" dengan "ius puniendi". "Ius puniendi" adalah hak negara untuk menghukum yang bersandar pada "ius poenale" sehingga hak untuk menghukum itu baru timbul. Setelah di "ius poenale" ditentukan perbuatan yang dapat dihukum.
Jelaslah dengan ini bahwa negara tidak dapat menggunakan haknya itu dengan sewenang-wenang karena dibatasi oleh "ius poenale" (ada perbuatan yang dapat dihukum).
"Hanya yang berhak memerintah yang juga berhak menghukum. Karena itu, pemerintah yang berhak memerintah maka pemerintah yang berhak menghukum (mempunyai 'ius puniendi').
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penjatuhan putusan penghukuman kepada seseorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana melalui putusan pengadilan merupakan hak yang dimiliki oleh negara melalui organ-organnya sehingga pembentukan hukum melalui putusan pengadilan pun merupakan hak yang dimiliki oleh negara
***2***
Berita Lainnya
Pakar hukum sebut putusan PN Jakarta Pusat tunda pemilu aneh dan mengejutkan
04 March 2023 15:51 WIB
Pakar hukum: Banyak kemudahan jika Perppu Ciptaker jadi disahkan menjadi UU
20 February 2023 17:00 WIB
Pakar hukum dukung penggunaan pasal hukuman mati jerat tersangka kasus korupsi minyak goreng
22 April 2022 15:06 WIB
Pengamat sebut tak perlu lagi ada protes wacana penundaan pemilu 2024
14 April 2022 9:38 WIB
Pakar: Penerapan keadilan restoratif pertimbangkan kesengajaan pelaku dan transparansi ke masyarakat
08 February 2022 8:02 WIB
Pencabutan izin PT SIPP sudah tepat
21 January 2022 18:57 WIB
Pakar Hukum Tata Negara sebut Pemilu Serentak 2024 jadi pilihan baik
12 October 2021 15:28 WIB
Pakar Hukum Internasional ingatkan konflik Afghanistan jangan sampai rusak persatuan di Indonesia
21 August 2021 10:36 WIB