Pekanbaru (Antarariau.com) - Forum Perjuangan Ekonomi dan Sosial Gambut Riau (FPESGR) menilai peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) P.40/2017 tentang Fasilitas Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri dalam rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut berpotensi mengganggu produktvitas industri kertas.
"Jelas mengganggu produktivitas dan berpotensi berdampak pada sektor hulu maupun hilir industri kertas," kata Sekretaris FPESGR Elwan Jumandri kepada Antara di Pekanbaru, Rabu.
FPESGR merupakan gabungan asosiasi pengusaha, pekerja dan masyarakat yang bergerak di bidang hutan tanaman industri dan perkebunan. Forum tersebut dibentuk menyusul adanya Permen LHK P.17/2017 tentang perlindungan dan pengelolaan gambut. Regulasi tersebut dikhawatirkan memicu masalah baru, diantaranya berpotensi menyebabkan peningkatan pengangguran.
Sementara dengan adanya P.40/2017 atau disebut juga sebagai Permen "Land Swap" (lahan usaha pengganti) yang kemudian diharapkan menjadi solusi regulasi sebelumnya, Elwan menilai sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan di Permen P.17/2017.
"Ini namanya tetap tidak menyelesaikan," ujarnya.
Ia menuturkan Permen LHK P.40/2017 pada Pasal 7 ayat 1 disebutkan areal lahan usaha pengganti (land swap) diajukan oleh pemegang IUPHHK-HTI paling lama enam bulan sejak revisi RKUPHHK-HTI disahkan. Menurut Elwan, aturan seperti ini tidak mempermudah pemegang izin usaha karena pemegang izin usaha harus mencari dan mengajukan sendiri wilayah mana yang akan dijadikan lahan pengganti.
Sementara itu pemerintah dinilai hanya menyediakan peta indikatif arahan pemanfaatan hutan produksi dan lahan-lahan yang dianggap tidak produktif. Alokasi "land swap" diarahkan pada areal bekas hutan tanaman industri (HTI) yang memiliki kinerja tidak bagus, sehingga dicabut izinnya atau dikembalikan. Padahal lahan-lahan seperti itu kebanyakan adalah lahan konflik.
"Hal itu sama saja menambah masalah untuk perusahaan. Diajukan lahan-lahan konflik kemudian setelah ada konflik baru mediasi. Seharusnya KLHK memberikan lahan-lahan yang sudah bersih dari konflik," ujarnya.
Untuk itu, meskipun Permen P.40/2017 menjanjikan akan memberi dukungan penanganan dan penyelesaian konflik, itu akan memakan waktu dan merugikan.
Lebih jauh, ia menuturan hingga kini pihaknya belum diajak berdiskusi atau memperoleh sosialisasi oleh KLHK terkait Permen L"and Swap" ini. Elwan berharap pemerintah dalam hal ini KLHK bisa bijak dalam mengeluarkan kebijakan.
Melengkapi Elwan, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Riau, Nursal Tanjung menilai P.40/2017 belum memberikan solusi pada nasib pekerja yang terancam.
"Land Swap mungkin bisa sedikit mengurangi kerugian pengusaha, namun tidak bagi pekerja," ujar Nursal yang juga merupakan bagian dari FPESGR.
Permen LHK P.40/2017, ditandatangani 4 Juli 2017 dan mulai di sosialisasi kan 13 Juli lalu. Regulasi itu merupakan aturan lanjutan dari serangkaian aturan yang dikeluarkan Menteri LHK mengenai pengelolaan lahan gambut.
Dalam Permen LHK P.40/2017 terdapat tiga fasilitas yang diberikan pemerintah terhadap dunia usaha hutan tanaman industri. Pertama, fasilitas dukungan penanganan dan penyelesaian konflik. Kedua, Fasilitas dalam rangka Perhutanan Sosial. Ketiga, Fasilitas pemberian areal lahan usaha pengganti (land swap). Permen P.40/2017 juga mengatur tata cara pengajuan land swap, bagi pemegang IUPHHK-HTI yang terkena dampak PP.57 tahun 2016 tentang tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dan Permen LHK P.17/2017 tentang tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri .