Pekanbaru (Antarariau.com) - Sekitar 4.000 pegawai disektor industri kehutanan di Provinsi Riau akan menerima pemutusan hubungan kerja, atau dipecat, pada tahun ini karena perusahaan hutan tanaman industri terpaksa mengurangi tenaga kerja sebagai konsekuensi dari penerapan regulasi tentang gambut.
"Sampai akhir tahun ini, diperkirakan akan ada 4.000 orang yang terpaksa di-PHK (pemutusan hubungan kerja)," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau, Muller Tampubolon kepada Antara di Pekanbaru, Kamis.
Muller mengatakan, kebijakan PHK adalah keputusan terberat bagi perusahaan namun terpaksa dilakukan sebagai konsekuensi dari penerapan Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, serta sejumlah Keputusan dan Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai aturan teknisnya.
Penerapan regulasi gambut tersebut mengakibatkan 76 persen dari total 526.070 hektare (Ha) hutan tanaman industri yang sudah ditanami di Riau, akan berubah menjadi fungsi lindung. Areal hutan tanaman industri (HTI) hanya bisa panen satu daur saja, dan pemegang izin harus mengembalikannya fungsinya seperti hutan alam.
Muller mengatakan, berkurangnya areal HTI dan belum adanya kepastian lahan pengganti (land swap) yang dijanjikan Kementerian LHK, mengakibatkan dampak sosialnya. Pengusaha dipastikan akan mengurangi pekerja sedikitnya 20.790 karyawan, baik langsung maupun tidak langsung, selama lima tahun ke depan.
"PHK akan dilakukan secara bertahap selama lima tahun. Perusahaan bukan tanpa konsekuensi melakukan PHK, karena akan menanggung biaya PHK sebesar Rp520 miliar," katanya.
Ia mengatakan APHI telah menyurati Presiden Joko Widodo agar pemerintah menanggapi dengan serius implikasi regulasi gambut terhadap kelangsungan industri dan dampak sosialnya. Surat bernomor 031/APHI-RIAU/V/2017 itu turut ditembuskan kepada Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri LHK, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, hingga kepada Gubernur Riau.
Dalam surat itu, APHI meminta pemerintah menunda penerapan regulasi gambut agar bisa dievaluasi secara komprehensif. Sebabnya, lahan pengganti yang bisa dipastikan oleh Kementerian LHK hanya seluas 10.360 hektare (Ha) yang ada di Riau.
"Lahan pengganti tidak sebanding dengan areal yang dibutuhkan seluas 398.216 hektare. Jika lahan pengganti berada di luar Riau, maka akan tidak efisien dan menambah biaya pengangkutan sampai ke pabrik," katanya.
Pengurangan konsesi HTI yang sebelumnya ditanami akan membuat industri kehilangan bahan baku sekitar 9,5 juta meter kubik per tahun, sehingga produksi pulp dan kertas di Riau akan berkurang 2,12 juta ton per tahun. Dampaknya terhadap penerimaan ekonomi negara adalah penurunan ekspor 1,48 ton per tahun, yang mengakibatkan kehilangan devisa negara sebesar 594,720 miliar dolar AS, belum termasuk pajak ekspor dan pajak lainnya.
Muller mengatakan, penerapan kebijakan dikonsesi yang sudah ditanami, mengakibatkan pemegang izin HTI kehilangan investasi yang sudah ada sekitar Rp6,63 triliun. Ditambah lagi dengan kewajiban bagi pemegang izin diwajibkan untuk menghutankan area yang dilepaskan tersebut.
"Biaya pemulihan dengan tanaman asli hutan dan sebagainya, diperkirakan bianya Rp40 juta per hektare, jadi total keseluruhan area hampir mencapai Rp16 triliun," katanya.