Genk Emak-Emak Backpacker Beraksi

id genk emak-emak, backpacker beraksi

Genk Emak-Emak Backpacker Beraksi

Jakarta (Antarariau.com)- Istilah backpacker banyak kita jumpai sekarang ini. Melakukan perjalanan dengan segala keterbatasan merupakan paham yang harus dipegang oleh para backpacker tersebut. Kebanyakan dari para backpacker tersebut adalah anak muda. Namun apa jadinya jika ada "segerombol" ibu-ibu yang melakukannya. Matahari belum terbit ketika sekelompok ibu-ibu yang menamakan diri "Emak-emak Backpacker" (EEB), Kamis (28/4) pagi, berkumpul di depan sebuah mal. Semua gembira.

Satu bus berpendingin udara telah siap mengangkut mereka menuju Bogor. Ini adalah "trip" pertama kemunitas EEB wilayah Depok. Meski namanya "backpacker", emak-emak tetap ingin duduk nyaman dalam bus ber-AC, dilengkapi karaoke dan makanan berlimpah.

Waktu telah menunjukkan pukul 06.00 WIB, saatnya berangkat. Namun dua orang peserta belum juga datang dan membuat panitia sedikit gusar. Akhirnya keberangkatan diundur 15 menit untuk menunggu dua peserta tersebut.

Tujuan pertama adalah Rumah Sutra yang berlokasi di kawasan Ciapus, Bogor. Tidak butuh waktu lama, sekitar pukul 08.00 WIB rombongan telah tiba di lokasi.

Demi emak-emak itu, Rumah Sutra yang biasanya buka jam 09.00 WIB, rela buka lebih awal. Seorang pemandu bernama Yan (ia memperkenalkan diri sebagai Yan Sutra) siap mengantar berkeliling rumah produksi kain sutra itu.

Tidak mudah bagi Yan untuk langsung menggiring ibu-ibu menuju ke tempat-tempat yang ingin ia perlihatkan. Ia harus rela menunggu mereka berfoto di berbagai tempat di rumah bertaman yang asri tersebut. Di mana pun pada setiap kesempatan mereka selalu berfoto.

Lokasi pertama yang ditunjukkan Yan adalah kebun murbei. Daun murbei adalah makanan ulat sutra. Rumah Sutra mempunyai kebun murbei seluas dua hektare yang ditanami berbagai varian pohon murbai. "Kebanyakan jenis yang dari Jepang," kata Yan.

Puas bertanya-jawab soal pohon murbei, rombongan beranjak menuju penangkaran ulat sutra. Mereka harus membersihkan alas kaki dengan mencelupkannya ke dalam bak air kecil di depan pintu masuk. Ibu-ibu pun diminta untuk tidak berdiri terlalu dekat dengan ulat-ulat kecil itu karena bau parfum akan membuat ulat-ulat itu stres.

Di situ terdapat ribuan "bayi" ulat sutra yang baru menetas. Menurut Yan, dalam setiap kemasan telur ulat sutra yang dibeli dari Temanggung, terdapat 25.000 telur ulat sutra yang siap ditetaskan. Namun biasanya tidak semua tumbuh menjadi ulat dewasa. "Sekitar 20 persennya gagal," ujar Yan.

Dari penangkaran telur ulat sutra, rombongan menuju tempat pemintalan. Ada dua orang perempuan di sana, satu orang merendam kepompong ulat sutra dengan air panas, satu orang lainnya memintal benang.

Menurut Yan, kepompong harus direndam air panas supaya mudah diurai benangnya untuk dipintal.Benang yang sudah dipintal kemudian ditenun di ruangan yang berbeda. Rumah Sutra menggunakan mesin tenun manual untuk membuat kain sutra.

Saat ibu-ibu itu berkunjung, ada dua pria yang sedang menenun. Keduanya menenun kain yang belum diwarnai. Yang satu menghasilkan kain putih polos, yang satu lagi menghasilkan kain putih namun bertekstur motif tertentu.

"Dalam sehari maksimal hanya dihasilkan tiga meter kain," ujar Yan. Pantas saja harga kain sutra sangat mahal, celetuk seorang ibu.

Setelah itu Yan membawa rombongan ke toko yang menjual berbagai barang yang dihasilkan di Rumah Sutra itu, mulai dari gantungan kunci dari kepompong hingga selendang dan baju sutra serta teh daun murbei tersedia di sana. Namanya emak-emak, pastilah harus ada acara belanja.

Lihat air terjun, pusing hilang

Perjalanan dilanjutkan menuju Curug Cigamea yang terletak di kaki Gunung Salak.

Perjalanan memakan waktu lebih kurang tiga jam dari Ciapus. Selain karena jalanan mulai macet, jalan menuju lokasi yang tidak terlalu lebar, berkelok-kelok dan menanjak membuat bus yang membawa rombongan tidak bisa melaju kencang.

Lewat jam makan siang rombongan baru tiba di lokasi. Para emak-emak itu tampak lelah. Bahkan seorang perserta yang berasal dari luar kota mengalami mabuk perjalanan. Ia tampak kepayahan.

Semula peserta yang berasal dari Pontianak itu ragu apakah mampu mencapai air terjun yang untuk mencapainya harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh sekitar 700 meter melalui jalan setapak berundak-undak.

Tetapi ia bertekad harus bisa mencapai air terjun tersebut. "Sayang ongkosnya," kata dia yang menempuh perjalanan jauh dari Pontianak demi mengikuti acara jalan-jalan itu.

Keputusannya tepat, pusing, lelah dan pegal yang didapat akibat meniti anak tangga, serta belasan monyet yang sempat membuat nyali ciut yang ditemui dalam perjalanan menuju lokasi air terjun terbayar oleh indahnya air terjun dan pemandangan sekitar.

Lelah seketika hilang, berganti dengan keceriaan. Semua sibuk mencari spot yang bagus untuk berfoto. Semua ingin membuat foto terbaik di sekitar air terjun. "Kapan lagi bisa sampai ke sini," celetuk seorang ibu yang sibuk berfoto dengan berbagai pose.

Puas berfoto dan makan siang, rombongan kembali ke bus, masih ada dua lokasi yang akan dikunjungi, Curug Seribu dan Pura Jagatkarta, sementara waktu sudah beranjak sore.

Namun karena kelelahan, peserta memilih tidak ke Curug Seribu yang juga membutuhkan jalan kaki untuk mencapainya. Sedangkan Pura Jagatkarta yang juga berlokasi di kaki Gunung Salak, ternyata tidak menerima kunjungan karena sedang direnovasi. Akhirnya diputuskan untuk langsung menuju pusat oleh-oleh sebelum pulang kembali ke Depok.

Dalam perjalanan menuju tempat oleh-oleh, seorang ibu tiba-tiba minta turun, mau pulang katanya.

"Saya mau langsung pulang saja, barusan suami telepon katanya anak saya sakit dan kemungkinan harus dirawat (di rumah sakit)," katanya.

Namanya juga emak-emak, di manapun berada tetap saja keluarga nomor satu.