Pekanbaru, (Antarariau.com) -Nasril berbaring dan tak berdaya di tempat tidur yang berdindingkan triplek, dengan bau yang tidak sedap, serta dengan wajah yang penuh harapan untuk dapat berbicara lagi.
Bahkan untuk bergerak dan menyambut sang surya di pagi hari sekalipun dia tidak mampu. Semua harapan itu kini menjadi hal yang sangat mustahil baginya, laki-laki yang usianya sudah tidak muda lagi, sudah 57 tahun. Dia mengalami stroke 1 bulan belakangan ini.
Nasril yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi ini awalnya menderita penyakit Diabetes Militus atau sering dikenal dengan Gula Kering. Penyakit ini sudah ada pada dirinya sejak lama, penyakit ini dia biarkan karena dirinya menganggap ini semua akan baik-baik saja.
Kini penyakitnya menjadi semakin parah, hampir seluruh badan terdapat luka-luka kecil yang terus bertambah, dan di rasa luka itu tidak akan pernah sembuh jika tidak dilakukannya tindakan pengobatan seperti ke dokter spesialis.
Tentunya pengobatan tesrsebut membutuhkan biaya, bagaimana bisa untuk menyisihkan sebagian uangnya untuk berobat sementara penghasilan yang mereka dapatkan hanya pas-pasan untuk makan.
Pada hari naas 1 bulan sebelumnya, ketika dia hendak ke kamar kecil untuk mandi yang tempatnya juga lumayan jauh sekitar 50m dari gubuknya.
Saat itu dengan kondisi kamar mandi yang licin dan cukup jorok itu, disanalah nasril terjatuh dan tergelincir lalu tidak sanggup untuk bangun kaki dan tangannya tidak dapat bergerak lagi seakan tubuhnya mati. Satu jam baru diketahui oleh anaknya karena dia yang tidak kunjung kembali dari kamar mandi.
Sejak hari itu, Nasril hanya bisa terbaring dan tergeletak di tempat tidurnya tanpa bisa melakukan apapun juga selain meraung kesakitan. Dengan kondisi seperti ini tentunya tidak ada pilihan lagi selain dibawa ke rumah sakit guna mendapatkan pengobatan.
Namun semua itu tidak bisa dilakukan karena mereka tidak memiliki kartu BPJS (Bantuan Jaminan Kesehatan), tidak adanya kartu BPJS ini lantaran dia tidak memilki KK (Kartu Keluarga).
Sebelum mengalami penyakit menggenaskan itu, Nasril sehari-harinya bekerja sebagai pemulung yang mengumpulkan barang bekas dari rumah ke rumah hingga di tempat-tempat tumpukan sampah yang sungguh menjijikan.
Dia memiliki tujuh putri dan satu putra, sedangkan istri tercinta telah lama dipanggil oleh Yang Maha Kuasa saat melahirkan putri bungsunya.
Nasril berasal dari Sumatera Barat tepatnya dari Bukittinggi, setelah kepergian istri tercinta dia memutuskan untuk merantau ke Pekanbaru. Sesampainya di Pekanbaru, dia tidak tahu hendak melakukan pekerjaan apa dan harus mendapatkan uang dari mana untuk makan dan biaya hidup.
Karena tidak mempunyai pilihan dia memutuskan untuk menjadi seorang pemulung dimana pekerjaan tersebut tanpa modal akan menghasilkan uang.
Seiring berjalannya waktu satu persatu putra-putri Nasril mulai menemukan jodohnya masing-masing dan menikah hingga sampai anak ke enam, mereka memilih mengikuti sang suami merantau ke Medan dan ada sebagian di Duri juga di Dumai. Akhirnya dia tinggal berpindah dari gubuk ke gubuk kosong yang tidak ada penghuninya.
Meskipun begitu hidupnya sempat berwarna ketika dia meminta putri dari anak ketiganya yang berusia tiga bulan untuk tinggal bersama dengannya. Meskipun sebenarnya cucunya itu terlahir dengan tidak normal seperti bayi yang lainnya.
Suci nama bayi perempuan itu tidak memiliki langit-langit pada rahangnya. Artinya akan membuat cucunya tersebut tidak dapat berbicara dengan baik dan jelas seperti anak yang lainnya.
Hadirnya suci membuatnya tinggal bersama kedua orang putrinya yang belum menikah. Walau cuma bisa makan dua kali dalam satu hari dengan menu yang apa adanya, namun itu tidak menjadi masalah baginya.
Nasril selalu membawa suci kemanapun dia pergi, bahkan dia membawa suci pergi bersamanya untuk melakoni pekerjaannya sebagai pemulung. Di dalam gerobak dorong sampah ditempatkannya suci, dengan membawa perlengkapan yang dibutuhkan anak itu seperti perlengkapan pakaian serta botol dan susu formula.
Melihat suci yang terus saja menangis karena merasa kehausan di dalam gerobak kakeknya tersebut membuat orang lain kasihan. Edi, salah satu pemulung yang juga berada di tempat tumpukan sampah mencoba melihat dan menggendongnya seraya bersinandung sambil menepuk-nepuk punggung sang bayi sambil meneteskan air mata.
Mendengar semua cerita dari nasril tentang mirisnya kehidupan yang dia alami, edi yang tadinya simpati lalu kemudian menjadi empati. Tanpa berfikir panjang dia memustuskan untuk ikut tinggal bersama keluarga kecil Bapak Nasril dan berharap bisa ikut serta merawat suci bersama-sama.
Edi yang menggunakan topi merah, berkulit sowo busuk memiliki badan tidak terlalu tinggi. Dia memakai baju kaos yang sudah tidak dikenali lagi warnanya dipadukandengan celana jenis jeans yang sudah koyak-koyak pada bagian lutut dan mata kaki.
Pria itu berasal dari Payakumbuh, umurnya 32 tahun dia bekerja sebagai pemulung, dan memiliki satu orang putra, dia dan istrinya sudah lama bercerai karena sesuatu hal yang sudah tidak bisa dipertahankan lagi.
Kini Edi tinggal bersama Nasril, keluarga barunya. Awalnya mereka tinggal di Jln. Cendrawasih, di pondok orang yang sudah tidak dipakai. Kemudian berpindah-pindah, diusir, diremehkan, dicacimaki dan itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi keluarga kecilnya.
Mencoba lari dari keterpurukan, dan bangkit dari perlakuan tidak pantas dimana orang-orang selalu mengusirnya, memaki keluarganya, dia bekerja mati-matian siang malam bekerja untuk mendapatkan uang. Siang mencari barang bekas dan malam ganti dengan pekerjaan jadi tukang angkat-angkat sampah warga yang dibayar sukarela.
Tidak lama, satu tahun setengah bekerja paruh waktu akhirnya Edi dapat mewujudkan mimpinya dengan menyewa tanah milik seseorang yang tidak terpakai yang berajda di Jln. Merpati Sakti dengan biaya Rp100 ribu per bulannya.
Di sana dia dapat mendirikan gubuk kecil dengan sumbangan atap bekas yang sudah tidak dipakai lagi dan dengan ukuran ruang pas-pasan untuk tempat tidur dan tempat memasak. "Walaupun tidak mewah untuk ditempatkan tapi tetap bisa berteduh dan masih layak untuk ditempati," katanya.
Diungkapkannya semua ini dilakukan murni dari ketulusan tanpa mengaharapkan pamrih dari siapapun.
"Saya juga orang susah yang merasakan apa yang sedang Pak Nasril rasakan. Saya sangat kasihan kepada Suci yang harus menaggung hidup sepedih ini, kini Suci akan saya anggap seperti anak saya sendiri dan Pak Nasril juga akan saya anggap sebagai orang saya sendiri begitupun keluarga yang lainnya," tambahnya
Saat ini Suci telah tumbuh dewasa, tahun ini umurnya akan genap 7 tahun. Artinya sudah seharusnya bagi dia sekolah di tahun ini, namun keterbatasan yang dimiliki menjadi salah satu halangan bagi dia untuk bisa masuk ke Sekolah SDN (Sekolah Dasar Negeri).
Semenjak sakit yang diderita oleh ayah angkatnya ini, kini dia menjadi tulang punggung keluarga, bagaimana bisa baginya untuk membiayai pengobatan ayah angkatnya ini, penghasilan 60 samapi dengan 70 Ribu dalam satu haripun tidak cukup baginya untuk menutupi kebutuhan pokok.
"Saya tidak tahu harus bagaimana caranya saya mendapatkan uang banyak untuk pengobatan agar ayah saya dapat sembuh kembali, untuk meminta bantuan kepada tetangga saya tidak sanggup rasanya karena kita tidak tahu bagaimana ekonomi orang, semua orang juga pada susah saat ini" ungkapnya
Harapan saat ini hanya ingin dapat perhatian dan bantuan dari pemerintah untuk dapat memberikan pengobatan gratis terhadap orang tua saya saat ini.tambahnya
Satu tahun sudah mereka tinggal di gubuk tersebut, namun tidak ada satupun masyarakat yang tahu bahwa edi sedang menderita penyakit yang serius. Edi dan Nasril terpadang dengan karakter yang baik di masyarakat sekitar, namun memiliki sifat yang tertutup karena berfikir tidak ingin menyusahkan orang lain dengan keberadaanya.
Eri salah satu tetangga yang dekat dari rumahnya tersebut mengungkapakan "Nasril dan Edi orang yang baik,ramah dan rajin ke masjid, lebih lagi mereka tidak perah mengeluh tentang hidupnya, hingga dia sakitpun tidak ada yang mengetahuinya" ungkapnya
Yeni putri bungsu dari Nasril ini mengungkapkan perasaan sedihnya, dia merasa bahwa cobaan dan ujian yang datang pada keluarganya tidak pernah berakhir. ingin baginya lari dari semua keterpurukan ini, namun tak banyak yang bisa dia lakukan dengan pendidikan yang rendah.
"Sedih sekali, ingin rasanya bisa membatu bapak jauh lebih dari ini, ingin membuat bapak bahagia tapi tidak banyak yang bisa saya lakukan, untuk berobat bapak saja saya tidak mampu," ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Harapan terbesar saat ini hanya ingin melihat ayahnya kembali sembuh agar dia bisa kembali bekerja dan mendapatkan uang untuk membelikan obat ayahnda tercinta, serta berharap kepada masyarakat dan pemerintah dapat mengulurkan tangannya dan memberikan sedikit bantuan untuk membantu pengobatan ayahanda," tambahnya (Rini Ervina)