Jakarta, Antarariau.com - Melodi indah nan romantis muncul dari jari-jemari Fira Christiano, seorang pemuda berusia 17 tahun yang sangat menggemari piano. Jarinya bak berdansa dengan tuts, memainkan lagu-lagu klasik bertaraf internasional. Tian, panggilan akrabnya, mampu menciptakan nada yang indah karena bermain dengan hati. Tak hanya sekadar kiasan, Tian memang betul-betul hanya mengandalkan hati dan pendengarannya dalam bermain piano karena dirinya seorang tunanetra.
Kehilangan penglihatan sejak berusia 9 tahun tak membuat Tian patah arang untuk menggapai cita-citanya bermain piano. Peraih predikat sangat memuaskan alias outstanding pada pagelaran ASEAN International Concerto Competition (AICC) 2015 tersebut sempat menelan pil pahit penolakan dari sejumlah lembaga kursus musik. Sampai akhirnya, di penghujung 2014, Tian mulai mengenyam kursus piano di Sekolah Musik Jakarta. Tak sampai setahun belajar, sosok humoris ini sudah mampu menularkan ilmunya ke sesame rekan tunanetra.
“Saya mengajar untuk membuktikan bahwa tunanetra itu bukan nothing, kami juga bisa bermusik dengan baik,” ungkap Tian. Salah seorang murid Tian yang, Ridho, mengaku dirinya sangat senang bisa belajar piano dengan guru yang sangat spesial. Pasalnya, hampir sama seperti sang guru, Ridho juga mengalami kendala dalam penglihatannya.
“Saya bermimpi bisa konser bareng Tian,” tutur pemuda tunanetra ringan tersebut. Tak hanya pada rekan sesame tunanetra seperti Ridho, Tian juga mengajar bagi pecinta piano yang tak memiliki masalah penglihatan seperti Lalitha. Awalnya, ibu dua anak ini merasa tak percaya dengan kemampuan Tian mengajar meski tak bisa melihat. Namun, setelah mendengar sendiri alunan musik yang dipersembahkan Tian, Lalitha sangat terpukau.
“Belajar piano dengan Tian tak hanya mengajarkan saya bermain musik, tetapi juga mengajarkan sikap optimistis dan bersyukur dengan keadaan kita,” papar Lalitha.
Sesungguhnya, tantangan terbesar ada di tangan Yan Geranit, guru musik yang pertama kali mengajar Tian. Lelaki yang berprofesi sebagai psikolog ini mengaku awalnya sangsi untuk mengajar tunanetra untuk bermain piano.
Terlebih, Tian tak hanya sekadar ingin bisa, tetapi ia ingin melantukan musik klasik. Saking tak percaya, Yan memberikan dua kali kesempatan percobaan gratis untuk pemuda yang tak memiliki piano tersebut. Ternyata, meski tak memiliki kesempatan berlatih piano selain di tempat les, Tian menunjukkan kemampuan yang sangat luar biasa. “Malah menurut saya, kemampuan Tian untuk menyerap pelajaran seringkali jauh melampaui anak dengan penglihatan normal,” kisah Yan.
Sempat Disuruh Belajar Pijat
Tian, yang kini mendapat anugerah The Duke of Edinburgh Award for Young People dari Kerajaan Inggris, sempat disuruh untuk mengikuti sekolah pijat oleh kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kalimantan, tempatnya bermukim dulu. “Kepala sekolah bilang ke saya gak usah sekolah tinggi-tinggi, belajar pijat saja nanti bisa jadi tukang urut dan dapat duit,” celoteh Tian.
Sang Ibu, Novi, menguatkan Tian untuk menghadapi orang-orang yang menganggap remeh kemampuan anaknya. Meski dalam keterbatasan, Tian terbukti mampu mencapai berbagai prestasi bergengsi dan yang terpenting, menghidupkan mimpinya sebagai seorang pianis. “Yang terpenting dalam hidup adalah bersyukur dan kerja keras, apa saja pasti bisa dicapai,” ucapnya haru.
Kini, Tian tengah bersiap untuk bertolak ke London dalam waktu dekat untuk mendalami lagi kemampuannya bermain piano. Tak hanya itu, Tian juga tertarik untuk mempelajari biola, alat musik yang tak kalah rumit. “Setiap orang tua harus mendukung anaknya dalam meraih cita-cita, tak peduli apa pun rintangannya,” tutur Yan.