Oleh Dewanto Samodro
Jakarta, (Antarariau.com) - Para aktivis pendukung pengendalian tembakau sontak "berteriak" ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pertembakauan menjadi RUU usul inisiatif DPR.
Reaksi para pendukung pengendalian tembakau itu disuarakan melalui berbagai media sosial dan kampanye, karena tidak banyak media arus utama yang memberitakan penolakan mereka terhadap RUU Pertembakauan.
Para pendukung pengendalian tembakau menilai RUU tersebut merupakan RUU yang aneh, yang tiba-tiba "nyelonong" masuk ke Baleg, dan merupakan titipan industri rokok yang tidak peduli dengan isu kesehatan yang digaungkan para pendukung pengendalian tembakau.
Apalagi, sebelumnya sudah ada RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (PDPTK) yang masuk ke Baleg. RUU tersebut dinilai lebih mengakomodasi isu kesehatan dan pengendalian tembakau. Namun, Baleg menangguhkan RUU tersebut pada 7 Juli 2011.
Sebenarnya, apa beda antara RUU Pertembakauan dengan RUU PDPTK? Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Ermalena mengatakan naskah RUU Pertembakauan yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, dan menjadi prioritas 2015 menempatkan kesehatan masyarakat sebagai tujuan terakhir.
"Kesehatan masyarakat dinyatakan sebagai tujuan terakhir, sementara tujuan pertama adalah meningkatnya produksi tembakau," papar Ermalena.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengatakan hal itu berbeda dengan naskah RUU PDPT. Menurut Erma, RUU tersebut menempatkan perlindungan kesehatan masyarakat dari dampak buruk zat adiktif sebagai tujuan utama.
Selain itu, RUU Pertembakauan juga membedakan antara rokok dengan kretek dengan menyatakan kretek bukanlah rokok. Sementara, RUU PDPTK menganggap rokok dan kretek sama, yaitu merupakan bagian dari zat adiktif.
"RUU Pertembakauan juga akan menghilangkan peringatan kesehatan bergambar yang ada di bungkus rokok, mengganti dengan peringatan tertulis. Sedangkan RUU PDPTK mengatur peringatan kesehatan bergambar secara komprehensif," tuturnya.
RUU Pertembakauan juga membedakan antara iklan, promosi dan "sponsorship" yang dilakukan perusahaan rokok dengan yayasan milik perusahaan rokok.
Segala bentuk publikasi yang dilakukan yayasan atau organisasi lain untuk perusahaan, tidak akan dianggap sebagai iklan, promosi atau "sponsorship", ucapnya.
Sementara itu, RUU PDPTK melarang total segala bentuk iklan, promosi dan "sponsorship" baik yang dilakukan perusahaan rokok maupun yayasan atau organisasi milik perusahaan rokok.
Terkait cukai rokok, RUU Pertembakauan menyatakan cukai dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk membangun pertanian tembakau.
"Padahal, cukai sejatinya adalah pajak dosa sehingga pemanfaatan yang diusulkan malah bertentangan dengan hakikat cukai," ujar Erma.
Hal itu berbeda jauh dengan cukai yang diusulkan RUU PDPTK. RUU tersebut mengusulkan cukai rokok minimal sama dengan cukai alkohol, yaitu minimal 80 persen, dan pemanfaatannya untuk kesehatan masyarakat akibat konsumsi produk tembakau.
Karena itu, Ermalena mengatakan Komisi IX yang membidangi kesehatan akan mengawal pembahasan RUU Pertembakauan dan mengambil sikap pada saat paripurna pengambilan keputusan RUU tersebut menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.
"Karena tugas negara adalah melindungi rakyat, termasuk dari bahaya asap rokok. Hal itu tercantum dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945," tuturnya.
Erma mengatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat pernyataan "pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Sedangkan Pasal 28H Ayat (1) berbunyi "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".