Dinilai Tidak Sehat Struktur Pasar Sapi Di Indonesia

id dinilai tidak, sehat struktur, pasar sapi, di indonesia

Dinilai Tidak Sehat Struktur Pasar Sapi Di Indonesia

Jakarta, (Antarariau.com) - Presiden Advocacy Center for Indonesian Farmers, Sutrisno Iwantono, menilai struktur pasar impor sapi ini tidak sehat karena dalam proses investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diketahui pelaku impor hanya ada 24 perusahaan sehingga bisa terjadi praktik kartel.

"Jumlah pelaku usaha yang sedikit menciptakan ruang gerak yang leluasa untuk membentuk kartel," katanya Iwantono yang juga mantan Ketua KPPU, di Jakarta, Jumat, mengenai tingginya harga daging sapi.

Ia menjelaskan, secara teori, pasar yang strukturnya oligopoli (sedikit pedagang dan banyak pembeli) tend to form cartel (cenderung membentuk kartel).

Ia mengatakan, beberapa indikasi sebenarnya sudah nampak misalnya hasil temuan Bareskrim di Banten ada satu perusahaan yang memiliki stok sapi cukup banyak, bahkan ada 500 ekor yang siap di potong tetapi tidak di potong. Ada yang memiliki 4.000 ekor siap potong, tetapi tetap dikandangkan.

Iwantono mengatakan pengendalian pasokan yang dilakukan secara bersama-sama dengan tujuan untuk meningkatkan harga adalah prilaku antipersaingan yang dilarang menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1999.

"Tinggal bagaimana KPPU dengan kewenangannya membuktikan bahwa praktik kartel itu memang terjadi. Sejak tahun 2013 peristiwa seperti ini telah terjadi, dan KPPU pada waktu itu juga sudah melakukan monitoring, sayangnya sampai sekarang hasilnya belum jelas," katanya.

Menurut Iwantono kunci utama dari masalah daging sapi ini, intinya pemerintah harus habis-habisan memberdayakan peternak lokal agar bisa swasembada daging dan menghapus impor.

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), katanya, pada tahun 2013 telah mengusulkan impor boleh dilakukan tetapi sifanyat sementara, dan impor harus di “binding” dengan kewajiban mengembangkan peternakan dalam negeri.

"Misanyal setiap impor sapi pedaging harus disertai kewajiban impor induk sapi betina untuk menghasilkan anakan guna memberdayakan peternakan local. Sampai pada suatu titik dimana impor tidak diperlukan lagi," katanya.

Bersamaan dengan itu upaya pencegahan terhadap pemotongan induk sapi betina dan penyebaran teknologi kawin silang dengan inseminasi buatan harusdiprogramkan secara prioritas. Pada jangka pendek ini impor bisa dilakukan, tetapi sebaiknya oleh BULOG dengan kontrol yang ketat, dilakukan secara transparan sehingga harga dipasti bisa lebih murah. Dan dalam proses pengawasannya perlu melibatkan organisasi petani seperti HKTI dan organisasi peternak yang lain.

Turunkan kercerdasan

Ia meminta agar pemerintah mengambil langkah cepat menurunkan harga daging sapi. Hal ini dikaitkan dengan dampak penurunan kecerdasan generasi mendatang. Daging adalah sumber protein hewani yang menentukan tingkat kecerdasan anak-anak. Dikhawatirkan harga daging yang tinggi akan sangat mengurangi konsumsi daging sebagaai sumber protein hewani yang penting.

Menurut sebuah penelitian raata-rata IQ orang Indonesia masih rendah hanya 87 masih di bawah Malaysia 92, Thailand 91 atau Singapura 108. Hal ini ada kaitannya dengan gizi yang kurang baik. Rata-rata konsumsi daging sapi orang Indonesia hanya sekitar 2-2,5 kg per kapita per tahun, sedang Malaysia sudah 15 kg. "Filipina saja sudah 7 kg per tahun per kapita," katanya.

Iwantono mengatakan harga yang tinggi dan kelangkaan daging sapi jelas akan punya dampak bagi masa depan kecerdasan anak bangsa akibat kekurangan asupan gizi. Kenaikan harga daging sapi saat ini terjadi karena kelangkaan pasokan (supply) di pasar, para pedagang mogok karena kesulitan menjual daging dengan harga tinggi.

Menurut Iwantono, dari sejumlah sumber data diketahui bahwa kebutuhan daging sapi nasional sekitar 650 ribu ton atau setara dengan 3,6 juta ekor sapi atau rata-rata 300 ribu ekor per bulan. Supply (pasokan) sapi lokal hanya sekitar 400 ribu ton atau kurang lebih 2,3 juta ekor sapi.

Dengan demikian masih terjadi deficit sekitar 250 ribu ton, atau 1,3 juta ekor atau sekitar 325 ribu ekor per triwulan. Defisit ini biasanya dipenuhi dengan cara impor. Persoalan timbul ketika pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian hanya mengijinkan impor sebanyak 50.000 ekor sehingga terjadi kelangkaan yang mengerek harga secara tidak normal hingga harga daging mencapai Rp 130-140 ribu per kg.