Tragedi Hawai dan sikap hadapi pemanasan global

id Hawaii, Kebakaran Maui, Tragedi Hawaii, Pemanasan Global

Tragedi Hawai dan sikap hadapi pemanasan global

Suasana kerusakan lingkungan Wahikuli Terrace pascakebakaran di kota Lahaina, pulau Maui, Hawaii, Amerika Serikat, Rabu (16/8/2023). Seminggu pascakebakaran hutan dan turut menghanguskan kota seluas 13 km persegi itu, petugas penyelamat masih menyisir lokasi kebakaran yang telah menewaskan 99 orang tersebut. ANTARA FOTO/Reuters/Mike Blake/nym.

Jakarta (ANTARA) - "Kita tak tahu apa yang sebenarnya menyulut kebakaran ini," kata Mayor Jenderal Kenneth Hara, panglima Garda Nasional Hawaii.

Yang pasti, badan cuaca Amerika Serikat (NWS) sebelumnya sudah menandai Hawaii dengan bahaya merah atau dalam ancaman kebakaran.

Alasannya, kondisi kering yang teramat lama sampai pepohonan pun mengering sehingga akan mudah terbakar.

Kondisi kering itu dibarengi dengan angin kencang berkecepatan 97-129 km per jam dipicu oleh Badai Dora yang bergerak di sebelah selatan Hawaii di Samudera Pasifik.

Ketika ranting, daun kering, atau apa pun yang mudah terbakar itu disulut api, maka dengan cepat api merambat dan membesar untuk menciptakan kebakaran.

Kebakaran itu sendiri cepat menyebar karena dikipasi oleh angin kencang berkecepatan 129 km per jam.

Akibatnya, Hawaii yang sudah kering, khususnya Maui, dengan sekejap diamuk si jago merah demikian dahsyat.

Seratusan orang meninggal dunia, beberapa di antaranya sulit dikenali karena gosong dibakar api.

Ribuan orang lainnya diungsikan. Sementara, bangkai bangunan dan kendaraan gosong dilalap api, memenuhi jalan dan kota-kota.

Gubernur Hawaii Josh Green memperkirakan jumlah korban tewas bakal terus bertambah.

Sementara itu, Lahaina, yang menjadi kota bersejarah dan pernah menjadi pusat Kerajaan Hawaii sebelum bergabung dengan Amerika Serikat, hancur lebur dilalap api.

Di kota itu, dilaporkan lebih dari 2.700 bangunan dan rumah hancur lebur.

Tak heran, Kebakaran Maui di Hawaii itu menjadi kebakaran lahan paling dahsyat di Amerika Serikat dalam 1 abad terakhir.

Hawaii adalah negara bagian ke-50 di Amerika Serikat yang letaknya dikepung Samudera Pasifik-- dan jauh--, baik dari daratan benua Amerika maupun dari daratan Benua Asia.

Perubahan iklim yang memicu pemanasan global memperburuk keadaan di pulau-pulau terpencil di dunia seperti Hawaii.

Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), dalam 100 tahun terakhir, suhu udara di Hawaii naik antara satu setengah sampai satu derajat Fahrenheit.

Bukan saja merusak terumbu karang dan ekosistem laut lainnya di Hawaii, pemanasan global juga menaikkan permukaan laut di Hawaii, sehingga meningkatkan risiko terjadinya erosi dan mengancam infrastruktur pesisir.

Pemanasan global itu nyata

Tragedi Hawaii melukiskan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global bukan hoaks. Bukan pula nanti, melainkan sekarang ini.

Sebaliknya, pemanasan global adalah fenomena alam nyata yang dari hari ke hari semakin ganas, dan untuk itu memerlukan tindakan nyata.

Catatan sejumlah kalangan, termasuk PBB, menyebutkan pemanasan global membuat suhu Bumi menjadi lebih panas.

Tidak itu saja, pemanasan global juga membuat badai menjadi lebih dahsyat dan lebih sering terjadi sehingga memicu banjir dan tanah longsor, yang lebih sering terjadi dan lebih mematikan.

Pemanasan global juga memicu kekeringan yang merusak pola tanam dan produksi pertanian yang akibatnya mengantarkan kepada krisis pangan, malnutrisi, kelaparan, dan kemiskinan.

Hawaii bukan yang pertama menjadi korban cuaca panas.

Dalam 2 tahun terakhir ini, udara kering nan panas juga menyerang Eropa, Asia Timur, dan Amerika Utara.

Kebakaran lahan nan hebat juga terjadi di Yunani, Rusia, Prancis, India, dan Portugal.

Hanya karena di negara-negara itu kebakaran tersebut tak dibarengi angin kencang akibat badai dahsyat seperti Badai Dora, maka kebakaran lahan di negara-negara itu tak sefatal dan tak merenggut korban jiwa sebanyak seperti Tragedi Hawaii.

Bumi yang menjadi lebih panas dan kering ini mendorong Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memaklumatkan bahwa dunia sudah tak lagi dilanda "pemanasan global", melainkan sudah memasuki fase "pendidihan global."

Kenyataannya, suhu dunia memang bertambah.

Sejumlah analisis ilmiah menunjukkan bahwa suhu Bumi pada 2022 menghangat 0,86 derajat Celcius dibandingkan dengan rata-rata suhu sepanjang abad ke-20 yang mencapai 13,9 derajat Celcius.

Angka itu juga 1,06 derajat Celcius lebih hangat dibandingkan rata-rata cuaca selama era Revolusi Industri pada 1880-1900.

Sejak tahun 1880, rata-rata suhu dunia telah naik lebih dari 1 derajat Celsius. Dua per tiga kenaikan itu terjadi sejak 1975, atau hanya dalam kurun 48 tahun terakhir.

Faktor terbesar bertambah panasnya Bumi ternyata sebagian besar akibat ulah manusia, oleh emisi gas rumah kaca yang memerangkap panas.

Suhu Bumi tergantung pada keseimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar dari planet ini.

Hentikan "greenwashing"

Tatkala sinar Matahari mencapai permukaan Bumi, maka sinar ini ada yang dipantulkan kembali ke ruang angkasa dan ada yang diserap oleh Bumi.

Energi Matahari yang dipantulkan kembali ke ruang angkasa tidak menghangatkan Bumi. Sebaliknya, energi masuk yang diserap Bumi itulah yang menghangatkan planet berisi hampir delapan miliar manusia hidup ini.

Namun, setelah energi panas Matahari itu diserap, Bumi melepaskan lagi sebagian energi itu ke atmosfer sebagai panas. Proses ini biasa disebut radiasi inframerah.

Akan tetapi, belakangan tahun ini, energi sinar Matahari yang terserap untuk kemudian dilepaskan lagi ke angkasa tersebut terhambat masuk angkasa karena dihalangi gas-gas tertentu di atmosfer. Gas-gas itu dengan istilah gas rumah kaca.

Gas rumah kaca itu menjadi selimut yang membuat Bumi menjadi lebih hangat dari yang seharusnya.

Proses itu disebut dengan efek rumah kaca, yang sebenarnya diperlukan untuk mendukung kehidupan di Planet Bumi.

Namun, belakangan tahun ini sejak Revolusi Industri, terutama sejak 1975, konsentrasi gas rumah kaca itu menjadi berlebih akibat aktivitas manusia.

Gas itu menjadi bertumpuk di atmosfer sehingga mengubah iklim Bumi dan membahayakan manusia serta ekosistem alam.

Perubahan ini bagaikan mengubah atap rumah terbuat dari genteng, dengan atap terbuat seng yang lebih padat dan memerangkap panas sehingga dalam rumah menjadi lebih panas atau bahkan sangat panas.

Gas rumah kaca sendiri di antaranya terdiri atas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen dioksida (N2O).

Gas-gas itu memasuki atmosfer melalui pembakaran bahan bakar fosil (batu bara, gas alam, dan minyak), limbah padat, pohon dan bahan biologis lainnya, serta juga sebagai hasil dari reaksi kimia tertentu.

Karbon dioksida sebenarnya dapat disingkirkan dari atmosfer jika diserap oleh tanaman sebagai bagian dari siklus karbon biologis

Inilah alasannya, hutan-hutan hijau harus diselamatkan agar komponen yang membuat dunia semakin panas menjadi terserap, termasuk dari deforestasi.

Tak hanya dengan menyelamatkan hutan hijau dan meningkatkan konservasi alam, upaya-upaya radikal harus ditempuh, terutama mempercepat dan memperluas konversi energi fosil ke energi hijau, termasuk energi listrik.

Selain itu, paradigma berkebijakan mesti berubah sehingga muncul tindakan-tindakan yang menyelamatkan Bumi, dan sebaliknya menghindarkan alam dari degradasi.

Meminjam kalimat Sekjen PBB Antonio Guterres, dunia juga harus menghentikan "greenwashing" atau upaya basa-basi yang hanya demi ingin terlihat ramah lingkungan, padahal sebenarnya tidak mengambil langkah apa pun yang berdampak positif terhadap lingkungan.

Lain dari itu, sistem politik mesti melahirkan pemimpin yang mendorong kesadaran massal bahwa merawat alam sama dengan menyelamatkan kehidupan dan sebaliknya, merusak alam sama dengan memusnahkan kehidupan.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tragedi Hawaii dan sikap hadapi pemanasan global