Tbilisi, Georgia (ANTARA) - Krisis iklim merupakan ancaman besar terhadap keberlanjutan dan kemajuan pembangunan, dengan risiko terbesar menimpa perempuan, anak-anak, serta kelompok miskin dan rentan. Bahkan, pulau-pulau kecil terancam hilang. Untuk itu, negara-negara di dunia perlu bahu-membahu mengatasi krisis iklim termasuk dari sisi pendanaan aksi atau proyek iklim.
Perubahan iklim mengakibatkan, antara lain, kekeringan dan pencemaran air yang memengaruhi ketersediaan air bersih yang dibutuhkan masyarakat untuk minum dan sanitasi. Perubahan iklim juga meningkatkan suhu Bumi, risiko bencana, hingga kerawanan pangan. Dataran pesisir dan dataran rendah akan berisiko dilanda banjir.
Sebanyak 19 dari 25 kota yang paling terdampak jika permukaan air laut naik 1 meter berada di kawasan Asia dan Pasifik, dan tujuh di antaranya berada di Filipina. Namun, negara di kawasan ini yang paling terkena dampak banjir di pesisir adalah Indonesia, dengan sekitar 5,9 juta penduduknya akan terdampak setiap tahun hingga tahun 2100, menurut laporan Asian Development Bank (ADB).
Tanpa tindakan apa pun untuk mengatasi perubahan iklim, maka suhu di seluruh daratan Asia diproyeksikan akan naik sebesar 6 derajat Celsius pada akhir abad ini. Beberapa negara bisa dilanda iklim yang jauh lebih panas, dengan perkiraan peningkatan suhu hingga 8 derajat Celsius di Tajikistan, Afganistan, Pakistan, dan wilayah barat laut Tiongkok.
Kenaikan suhu akan membawa perubahan drastis di kawasan, termasuk pada sistem cuaca, sektor pertanian dan perikanan, keanekaragaman hayati darat dan laut, keamanan domestik dan regional, perdagangan, pembangunan perkotaan, migrasi, dan kesehatan. Kondisi ini akan dapat menghancurkan harapan apa pun untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Dampak krisis iklim juga dialami sektor infrastruktur. Berdasarkan hasil riset Stone tahun 2022, peningkatan hawa panas membuat permintaan pendingin udara lebih besar, artinya menambah beban pada jaringan listrik.
Oleh karenanya, Indonesia, ADB, dan negara-negara lain memberikan kontribusi untuk menambah dana pembangunan Asia atau Asian Development Fund (ADF) 14. Dana tersebut utamanya akan digunakan untuk mengintensifkan upaya dalam mengatasi krisis iklim, mengentaskan kemiskinan, dan mendorong pembangunan sosio-ekonomi yang inklusif.
Kesepakatan penambahan dana tersebut tercapai dalam Pertemuan Tahunan Ke-57 ADB di Tbilisi, Georgia, dengan nominal sebesar 5 miliar dolar AS.
Selain Indonesia, negara donor lain yang andil dalam peningkatan dana ADF 14 meliputi Armenia, Australia, Austria, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Georgia, Jerman, Hong Kong di Tiongkok, India, Irlandia, Italia, Jepang, Luksemburg, Malaysia, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Republik Rakyat Tiongkok, Filipina, Portugal, Republik Korea, Spanyol, Swedia, Swiss, Taipei di Tiongkok, Turki, Britania Raya, dan Amerika Serikat.
Menurut Presiden ADB Masatsugu Asakawa, ADF 14 berfokus pada adaptasi perubahan iklim, pengurangan risiko bencana, peningkatan kesetaraan gender, dan mendorong kerja sama dan integrasi regional.
ADF 14 mengedepankan bantuan khusus terhadap negara-negara berkembang kepulauan kecil yang sangat rentan terutama terhadap perubahan iklim, dan ke negara-negara yang berada dalam situasi rentan dan terkena dampak konflik.
Dibentuk pada 1974, ADF didedikasikan untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup di negara-negara termiskin dan paling rentan di Asia dan Pasifik. Dana tersebut juga digunakan untuk mengatasi tantangan pembangunan guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, ADF mencerminkan komitmen kolektif ADB dan donor terhadap masa depan yang berkelanjutan.
Dukungan dari para donor tentunya menumbuhkan semangat kerja sama internasional yang sangat penting di saat krisis global. Kolaborasi Indonesia, ADB, dan para donor lain juga meningkatkan kapasitas kolektif dalam menghadapi tantangan yang tidak dapat diatasi sendirian oleh satu negara pun.
Kerja sama tersebut juga diharapkan dapat membangun kawasan Asia dan Pasifik menjadi wilayah yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan pada 2023, ADB memberikan komitmen pendanaan iklim sebesar 9,8 miliar dolar AS, meningkat dari 6,7 miliar dolar AS pada 2022 dan termasuk 1 miliar dolar AS dalam pendanaan iklim non-pemerintah.
ADB melakukan investasi iklim yang signifikan di sektor-sektor penting seperti transportasi sebesar 2,5 miliar dolar AS, pertanian sebesar 1,8 miliar dolar AS, dan energi sebesar 1,9 miliar dolar AS.
Untuk mendorong tindakan menuju planet yang lebih bersih, ADB mengumumkan bantuan teknis baru untuk Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership), yang dibentuk untuk memandu masyarakat Indonesia beralih meninggalkan bahan bakar fosil.
Bantuan teknis tersebut mendukung perumusan rencana investasi dan kebijakan untuk menyalurkan dana sebesar 20 miliar dolar AS yang dijanjikan kepada kemitraan ini oleh sumber-sumber pendanaan dari publik dan swasta.
Indonesia dan ADB juga menyepakati komitmen percepatan pelaksanaan pensiun dini (early retirement) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia, yang dijalankan dalam kerangka Energy Transition Mechanism (ETM).
Proaktif atasi krisis iklim
Dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara diperkirakan meningkat hingga tahun 2030. Proporsi luas wilayah krisis air meningkat, dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi 9,6 persen pada tahun 2045.
Indonesia juga berpeluang menderita kerugian ekonomi hingga Rp544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan.
Pada 2021, sebuah penelitian menyebutkan Indonesia pada tahun 2050 bisa kehilangan 30-40 persen produk domestik bruto (PDB) jika berada di tingkat emisi sedang hingga tinggi. Padahal, Indonesia bisa hanya kehilangan PDB maksimum 4 persen jika mampu menjaga suhu jauh di bawah 2 derajat Celcius.
Oleh karena itu, Indonesia menempatkan upaya memerangi perubahan iklim dan dampaknya sebagai prioritas utama dalam agenda pembangunan. Demikian juga ADB dan dunia turut memprioritaskan penanganan krisis iklim demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Menurut Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin, Indonesia proaktif dan secara berkelanjutan melaksanakan tindakan-tindakan konkret guna menangani krisis iklim dengan melakukan beragam langkah-langkah strategis, diantaranya menurunkan emisi gas rumah kaca.
Hal tersebut sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris, yakni meningkatkan target pengurangan emisi gas rumah kasa menjadi 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional
Peningkatan target penurunan emisi Indonesia selaras dengan perkembangan signifikan kebijakan Indonesia, seperti perluasan konservasi dan restorasi alam, penerapan pajak karbon, mencapai Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030, pengembangan ekosistem kendaraan listrik, serta inisiasi program biodisel B40.
Sementara untuk memastikan pendanaan transisi energi, Indonesia telah meluncurkan Country Platform for Energy Transition Mechanism. Bagaimanapun, segala upaya nasional tersebut perlu diikuti oleh dukungan internasional yang jelas, termasuk penciptaan pasar karbon yang efektif dan berkeadilan, investasi untuk transisi energi, dan pendanaan untuk aksi iklim.
Krisis iklim dan dampaknya tidak bisa hanya diatasi oleh satu negara namun harus secara global dan serentak. Penanganan krisis iklim harus dilakukan secara menyeluruh dan gotong royong baik melalui tiap tindakan nyata dan kebijakan yang dilakukan masing-masing negara di wilayahnya, maupun upaya bersama yang kolaboratif secara regional dan global sehingga dapat bersama-sama mewujudkan dunia yang sejahtera, berkelanjutan, dan maju.