Jakarta (ANTARA) - Analis Bank Woori Saudara Rully Nova menyatakan data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,11 persen (year on year/yoy) pada kuartal I-2024 menopang penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Pada akhir perdagangan Senin, kurs rupiah menguat 57 poin atau 0,36 persen menjadi Rp16.026 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.083 per dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Senin turut menguat ke level Rp16.025 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.094 per dolar AS.
“Data PDB (Produk Domestik Bruto) berpengaruh cukup signifikan terhadap nilai tukar rupiah karena masih ditopang oleh tingkat konsumsi masyarakat,” kata dia ketika dihubungi ANTARA, Jakarta, Senin.
Pada siang tadi, BPS mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2024 lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuartal keempat 2023 yang sebesar 5,04 persen, dan tertinggi sejak tahun 2015. Kendati begitu, ada kontraksi 0,83 persen jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (quarter to quarter).
Berdasarkan besaran PDB Atas Dasar Harga Berlaku, tercatat sebesar Rp5.288,3 triliun, sedangkan PDB Atas Dasar Harga Konstan mencapai Rp3.112,9 triliun.
Melihat dari faktor global, penguatan kurs rupiah dipengaruhi data Non-Farm Payroll (NFP) dan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur ISM Amerika Serikat (AS) yang lebih lemah dari perkiraan.
Pada Jumat (3/5), diketahui bahwa data PMI Manufaktur ISM AS pada April 2024 hanya mencapai angka aktual 49,2, lebih rendah dari perkiraan sebesar 50,0 atau dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,3.
Begitu pula dengan data NFP April 2024 yang hanya mencapai angka aktual 175 ribu, lebih rendah dari dugaan sebesar 238 ribu atau dibandingkan bulan sebelumnya sebanyak 315 ribu.
“Nilai tukar rupiah hari ini diprediksi kembali menguat terhadap dollar AS pada kisaran Rp16 ribu-Rp16.100 dipengaruhi oleh faktor eksternal, (yakni) penurunan index dollar AS dan obligasi pemerintah AS. Index dolar dan obligasi AS mengalami penurunan disebabkan oleh melemahnya data-data pekerja AS (yang) di bawah ekspektasi pasar, seperti data NFP,” ucap Rully.