Gapkindo: Harga Karet Anjlok Tidak Layak Dipajak

id gapkindo harga, karet anjlok, tidak layak dipajak

Gapkindo: Harga Karet Anjlok Tidak Layak Dipajak

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Provinsi Riau, Nur Hamlin menyatakan harga komoditas karet yang terus anjlok seharusnya jangan lagi dikenakan kewajiban membayar pajak 10 persen karena makin membebani petani.

"Harga karet sudah sangat terpuruk tapi justru dikenakan pajak 10 persen. Kebijakan ini sangat merugikan terutama untuk petani," kata Nur Hamlin kepada Antara di Pekanbaru, Selasa.

Sejak pertengahan 2014, pemerintah mulai memberlakukan pajak terhadap komoditas karet setelah adanya pembatalan sejumlah pasal oleh Mahkamah Agung (MA) terkait Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang penetapan hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagai barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).

Sebelumnya produk pertanian, perkebunan dan kehutanan sejak 2007 memang dibebaskan dari PPN. Putusan MA itu langsung ditindaklanjuti dengan keluarga Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-24/PJ/2014, yang salah satu intinya Dirjen Pajak meminta kepada kepala kantor wilayah dan kepala kantor pelayanan pajak untuk mensosilisasikan putusan MA serta implikasi perpajakannya kepada wajib pajak.

Alhasil, setiap transaksi tandan buah sawit dan karet dikenakan PPN sebesar 10 persen.

"Dengan adanya PPN tersebut, harga karet yang seharusnya Rp5.000 per kilogram yang sampai ke petani hanya Rp4.500. Harga karet sudah sangat rendah, kok masih dikenakan pajak juga," ujarnya.

Ia mengatakan harga komoditas karet terus merosot karena di pasar dunia sekarang tinggal 1,5 dolar AS per kilogram turun drastis dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai tiga dolar AS.

Menurut dia, Gapkindo memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk penyelamatan komoditas karet, dan yang paling utama adalah perlu adanya kebijakan pemerintah yang mendukung disaat harga "terjun bebas".

"Solusi pertama adalah pemerintah mencabut kebijakan tentang PPN itu karena makin membebani petani saat karet terpuruk seperti sekarang ini," ujarnya.

Ia mengatakan, solusi kedua adalah pemerintah perlu mendukung revitalisasi perkebunan karet melalui penanam kembali (replanting) terhadap tanaman karet tua. Berdasarkan data statistik Disbun Riau, luas area kebun karet di Riau mencapai 500.851 hektare (ha) yang mayoritas perkebunan rakyat. Sebagian besar tanaman karet berusia tua dan kurang produktif, sehingga produksi per tahun di Riau hanya mencapai 350.476 ton bahan olah karet rakyat (bokar).

Untuk mendukung rencana itu, lanjutnya, Gapkindo sepakat bahwa petani pemilik lahan harus diberdayakan agar tidak kehilangan mata pencaharian saat proses "replanting" berjalan.

"Petani harus dibantu karena kebanyakan mereka miskin dan hanya punya lahan kecil. Jika ditebang pohon karetnya, maka tak punya penghasilan lalu jaminannya hidup mereka bagaimana nanti," katanya.

Ia mengatakan Gapkindo sepakat untuk menerapkan pola bapak angkat untuk pembiayaan revitalisasi karet. Modal peremajaan karet akan berasal dari perusahaan, dan petani pemilik lahan dijamin tak kehilangan penghasilan.

"Kita harapkan petani tetap bekerja membantu proses peremajaan karet," ujarnya.

Menurut dia, perusahaan anggota Gapkindo nanti akan menyediakan bibit karet kualitas unggul dengan pengelolaan yang mumpuni. Harapannya, dalam empat tahun kedepan setelah peremajaan, Riau bisa mendapatkan kualitas tanaman dan karet yang bagus.

"Targetnya adalah produktivitas minimal bisa mencapai dua ton per hektar, jauh meningkat dari produksi sekarang yang rata-rata 600 kilogram per hektar karena tanaman sudah tua," katanya.

Solusi ketiga yang ditawarkan Gapkindo adalah untuk membenahi tata niaga komoditas karet yang bisa meningkatkan harga yang didapat petani. Targetnya adalah untuk memangkas tata niaga karet yang begitu panjang sehingga petani tidak mendapat harga yang selayaknya.

"Bayangkan saja karet dari petani rantai pembelinya sangat panjang mulai dari pengepul hingga ke pabrik. Akibatnya, jumlah pendapatan yang diterima petani sangat sedikit," ujarnya.

Menurut dia, solusi tersebut bisa dikembangkan dengan mendorong petani untuk berkelompok dalam menjual bokar dan menjualnya langsung ke pabrik yang akan membantu memfasilitasinya.

"Persoalannya sekarang banyak petani kita tak bisa memutus mata rantai itu karena terlilit hutang dari pedagang," katanya.