Istanbul (ANTARA) - Hamas menyatakan bersedia menyerahkan pemerintahan Jalur Gaza, namun menegaskan bahwa mereka tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rakyat Palestina.
“Kami siap tidak memerintah Gaza, kami tidak keberatan,” kata pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad, dalam wawancara dengan CNN, Jumat.
Baca juga: PBB: Israel Hantam Gaza Setiap 8-9 Menit Lewat Serangan Udara
Ia menambahkan bahwa eksistensi Hamas di dalam struktur rakyat Palestina tidak bisa diabaikan.
Sejak menguasai Gaza dari Otoritas Palestina (PA) yang dipimpin Fatah pada 14 Juni 2007, Hamas telah menjalankan pemerintahan hingga perang Gaza pecah pada Oktober 2023.
Pernyataan ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump mempresentasikan rencana 21 poin kepada para pemimpin Arab dan Muslim di sela Sidang Umum PBB ke-80 di New York, sebagai bagian dari pengaturan pasca perang untuk Gaza.
Menurut laporan Israel Channel 12, rencana Trump antara lain mencakup pembentukan pemerintahan Gaza tanpa Hamas, pembentukan pasukan keamanan gabungan Palestina dan negara-negara Arab-Muslim, serta pendanaan Arab-Islam untuk rekonstruksi, dengan keterlibatan terbatas dari PA.
Trump dikabarkan mendesak para pemimpin mendukung rencana tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tegas menyebut tujuan perang adalah membebaskan semua sandera, menghancurkan kemampuan militer sekaligus pemerintahan Hamas, dan memastikan Gaza tidak lagi menjadi ancaman — secara efektif menginginkan penghapusan peran Hamas.
Hamad juga menceritakan selamat dari serangan udara Israel di Qatar yang menurutnya “suatu keajaiban,” karena rudal menghantam di dekat lokasi mereka.
Ia mengklaim bahwa pasukan Israel berusaha menyasar pihak yang terlibat negosiasi.
Pada 9 September, Israel membom kepemimpinan Hamas di Doha. Hamas menyebut delegasi yang dipimpin Khalil al-Hayya selamat, namun kepala stafnya, Jihad Lebed, serta putra al-Hayya yang bernama Hammam dan tiga ajudan tewas.
Ketika ditanya tentang proposal AS yang meminta Hamas membebaskan semua sandera — hidup dan mati — sebagai imbalan pembebasan ribuan tahanan Palestina dan gencatan senjata segera, Hamad mengatakan bahwa mereka menghendaki kesepakatan menyeluruh untuk mengembalikan semua sandera dalam 24 jam, tetapi Israel menolak.
Ia membantah tuduhan bahwa sandera dijadikan tameng manusia. Sayap militer Hamas, Brigade Qassam, memperingatkan bahwa operasi darat Israel saat ini memperbesar risiko terhadap sandera.
Menurut otoritas Israel, 48 sandera masih berada di Gaza, termasuk sekitar 20 yang diyakini masih hidup.
Baca juga: UNRWA: Sepertiga Anak Gaza Jalani Hari Tanpa Makanan
Sementara itu, lebih dari 11.100 warga Palestina ditahan di penjara Israel, di mana kelompok HAM menyebut banyak mengalami penyiksaan, kelaparan, dan kelalaian medis.
Lebih dari 65.500 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, tewas di Gaza sejak Oktober 2023 akibat perang genodisa Israel.
Sumber: Anadolu