Pekanbaru (ANTARA) - Dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Universitas Indonesia (RS UI), dr. Shofa Nisrina Luthfiyani, Sp.A, menegaskan bahwa stimulasi sensorik untuk mendukung tumbuh kembang anak bisa dilakukan dengan cara sederhana menggunakan bahan-bahan yang ada di rumah.
Menurutnya, stimulasi sensorik merupakan bagian penting dalam mengasah perkembangan kognitif, motorik, hingga emosional anak. Aktivitas ini melibatkan pancaindra seperti penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan penciuman, yang membantu anak memahami dan merespons lingkungan sekitarnya.
Baca juga: Dokter: Anak yang terlambat atau susah bicara mungkin pendengarannya terganggu
"Stimulasi sensorik tidak harus dengan mainan mahal atau khusus. Kita bisa memanfaatkan benda-benda rumahan yang aman untuk mengenalkan anak pada beragam tekstur," ujar dr. Shofa dalam diskusi daring, Rabu.
Ia menjelaskan, stimulasi ini sudah bisa mulai diberikan sejak bayi berusia lima bulan, karena pada usia enam bulan anak akan mulai mengenal berbagai tekstur lewat Makanan Pendamping ASI (MPASI).
Sebagai contoh, untuk merangsang indra peraba, orang tua bisa mencampurkan tepung dengan air dan membiarkan anak menyentuhnya secara langsung. Tekstur lembut dan lengket akan membantu anak mengenali sensasi baru.
Jika ingin memperkenalkan tekstur kasar, cukup masukkan beras atau kacang hijau ke dalam plastik bening, lalu biarkan anak memainkannya di bawah pengawasan. Kegiatan ini sederhana, tapi sangat bermanfaat untuk perkembangan sensoriknya.
Baca juga: Dokter ungkap perbedaan antara alergi susu dan intoleransi laktosa pada anak
"Yang penting, pastikan semua bahan aman dan selalu diawasi. Tidak perlu beli mainan khusus, cukup pakai benda di sekitar rumah yang tidak berbahaya," tambahnya.
Dr. Shofa juga menyoroti pentingnya peran orang tua dalam memberikan stimulasi sejak dini agar anak terhindar dari risiko gangguan tumbuh kembang.
Masalah tumbuh kembang anak masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020 mencatat, sekitar 7,51 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun mengalami gangguan tumbuh kembang. Jika tidak ditangani dengan tepat, hal ini dapat berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan.