Moskow (ANTARA) - Iran menegaskan bahwa Amerika Serikat harus terlebih dahulu mengakui kesalahan masa lalunya dan menunjukkan perubahan sikap nyata sebelum proses negosiasi dapat dilanjutkan. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam wawancara eksklusif dengan surat kabar Le Monde, Kamis (10/7).
“Diplomasi bukan jalan satu arah. AS-lah yang membatalkan negosiasi dan memilih jalur militer. Kini, mereka harus menunjukkan tanggung jawab dan perubahan sikap yang jelas,” tegas Araghchi.
Baca juga: Perkuat Aliansi, Menlu China dan Rusia Bahas Masa Depan Nuklir Iran
Ia juga menekankan pentingnya jaminan bahwa Washington tidak akan kembali menggunakan kekuatan militer saat proses negosiasi berlangsung. “Kami tidak akan kembali ke meja perundingan hanya untuk menghadapi ancaman serangan udara.”
Meski komunikasi masih berlangsung melalui jalur tidak langsung, Araghchi menyebut format negosiasi bisa berubah sewaktu-waktu. Ia juga menegaskan bahwa Teheran berhak menuntut kompensasi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh agresi militer AS.
Ketegangan meningkat sejak 13 Juni, ketika Israel meluncurkan serangan terhadap Iran, menuduh negara itu menjalankan program nuklir militer secara rahasia — tuduhan yang dibantah keras oleh Teheran. Dalam hitungan jam, konflik berubah menjadi saling balas serangan antara kedua negara selama hampir dua pekan.
Baca juga: Teheran Tak Bergegas, Perundingan Nuklir dengan AS Butuh Waktu
Situasi makin memanas saat pada 22 Juni, Amerika Serikat memutuskan turun tangan, bergabung dalam kampanye udara Israel dan menggempur fasilitas nuklir Iran. Menanggapi hal itu, Iran melancarkan serangan balasan ke pangkalan udara AS di Al Udeid, Qatar.
Presiden AS Donald Trump akhirnya mengumumkan pada 23 Juni bahwa Israel dan Iran telah menyepakati gencatan senjata — setidaknya untuk sementara — guna meredakan konflik yang hampir berubah menjadi perang habis-habisan di kawasan.