Kemenhut Petieskan Kayu Ramin IKPP

id kemenhut petieskan, kayu ramin ikpp

Kemenhut Petieskan Kayu Ramin IKPP

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Kementrian Kehutanan (Kemenhut) dituding "petieskan" penggunaan kayu ramin salah satu perusahaan penghasil bubur kertas dan kertas di Riau yakni PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) milik Sinar Mas Group atau Asia Pulp and Paper (APP).

"WWF mendorong agar Kementerian Kehutanan dapat menuntaskan proses investigasi ini dan mengenakan sanksi tegas kepada perusahaan manapun yang terbukti melanggar," kata Direktur Konservasi WWF Indonesia Nazir Foead melalui telepon di Pekanbaru, Sabtu.

Permintaan itu disampakan WWF Indonesia atas laporan yang disampaikan Greenomics Indonesia dirilis Selasa (10/12), dan Kemenhut diminta mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang terbukti menebang serta menerima kayu ramin secara illegal.

Dalam kajian Greenomics terungkap dua perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri PT Rimba Hutani Mas (RHM) dan PT Kalimantan Subur Permai (KSP), dimana keduanya pemasok APP yang menebang tanpa izin serta menjual kayu ramin ke IKPP pada tahun 2012.

Menurut Greenomics, penebangan kayu ramin yang dilakukan itu hingga kini belum ditindaklanjuti dan kasusnya perusahaan Sinar Mas Group seperti hendak "dipetieskan".

Ramin adalah jenis kayu dilindungi dan masuk dalam kategori rentan dalam daftar merah IUCN serta Apendix II didaftar CITES yang diartikan perdagangan secara komersil sangat ketat dan pemanfaatannya harus mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan.

"Sudah semestinya Kemenhut tidak memberi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan yang terindikasi kuat melakukan penebangan hutan alam dan kayu Ramin secara illegal seperti RHM dan KSP," tegas Nazir.

Berdasakan kajian Greenomics, penebangan dan pemasokan kayu ramin kedua perusahaan hutan tanaman industri yakni RHM yang berlokasi di Sumatera Selatan dan KSP di Kalimantan Barat, tidak memiliki izin.

Kajian itu didasarkan juga atas investigasi yang dilakukan pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan dan ditindaklanjuti oloeh laporan Greenpeace pada tahun 2012.