Empat dakwaan jaksa KPK bagi dua PNS pemeriksa pajak, terkait kasus gratifikasi
Jakarta (ANTARA) - Tidak tanggung-tanggung, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menerapkan empat dakwaan kepada dua orang mantan pemeriksa pajak madya pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yaitu Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak.
Keduanya didakwa menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama dan selanjutnya Wawan Ridwan serta anaknya bernama Muhammad Farsha Kautsar didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang.
Untuk dakwaan pertama, yaitu penerimaan suap, Wawan dan Alfred yang saat ini masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu didakwa menerima suap dari sejumlah wajib pajak masing-masing 606.250 dolar Singapura (sekitar Rp6,47 miliar).
"Terdakwa I Wawan Ridwan dan terdakwa II Alfred Simanjuntak masing-masing sebagai pemeriksa pajak madya pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bersama-sama Anging Prayitno Aji, Dadan Ramdani, Yulmanizar dan Febrian menerima uang seluruhnya Rp15 miliar dan 4 juta dolar Singapura dimana para terdakwa menerima masing-masing sebesar 606.250 dolar Singapuraagar merekayasa hasil perhitungan pajak," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK M Asri Irwan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (27/1).
Angin Prayitno Aji adalah Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP periode 2016-2019, Dadan Ramdani selaku Kepala Sub Direktorat Kerjasama dan Dukungan Pemeriksaan DJP periode 2016-2019, sedangkan Yulmanizar dan Febrian selaku Tim Pemeriksa Pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP pada Januari 2018-September 2019.
Penerimaan suap tersebut diduga berasal dari pertama, konsultan pajak PT Gunung Madu Plantations sebesar 750 ribu dolar Singapura atau setara Rp7,5 miliar terkait pemeriksaan PT GMP tahun pajak 2016.
Kedua, dari kuasa Bank Pan Indonesia (Panin) Veronika Lindawati sebesar Rp5 miliar terkait pemeriksaan pajak tahun 2016.
Ketiga, dari konsultan pajak PT Jhonlin Baratama sebesar Rp35 miliar terkait pemeriksaan pajak tahun pajak 2016 dan 2017.
Atas perbuatannya, Wawan dan Alfred didakwa dengan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo padal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Dalam dakwaan kedua, yaitu dakwaan dugaan penerimaan gratifikasi Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak didakwa mendapat gratifikasi masing-masing Rp1,931 miliar, 71.250 dolar Singapura (sekitar Rp759,67 juta), tiket pesawat sebesar Rp594,9 juta dan hotel senilai Rp448 ribu. Gratifikasi itu berasal dari 9 wajib pajak.
Pertama, gratifikasi dari PT Sahung Brantas Energi sebesar Rp400 juta dengan Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp80 juta.
Kedua, gratifikasi dari PT Rigunas Agri Utama totalnya Rp650 juta dengan Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp168.750.000
Ketiga, gratifikasi dari CV Perjuangan Steel (PS) totalnya Rp5 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp625 juta.
Keempat, gratifikasi dari PT Indolampung Perkasa totalnya Rp2,5 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp800 juta
Kelima, gratifikasi dari PT Esta Indonesia totalnya Rp4 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp450 juta.
Keenam, gratifikasi dari wajib pajak Ridwan Pribadi sebesar Rp1,5 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp187.500.000
Ketujuh, gratifikasi dari PT Walet Kembar Lestari senilai Rp1,2 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp150 juta.
Kedelapan, gratifikasi dari PT Link Net senilai Rp700 juta dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp87,5 juta.
Kesembilan, gratikasi dari PT Gunung Madu Plantations berupa tiket pesawat senilai Rp595.900 dan hotel Rp448 ribu.
"Terhadap penerimaan gratifikasi berupa sejumlah uang dan fasilitas tersebut di atas, para terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana ditentukan undang-undang, padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum," tambah jaksa.
Wawan dan Alfred pun didakwa pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo padal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Ancaman pidana penerimaan gratifikasi yaitu 4 sampai 20 tahun penjara dan denda dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Dakwaan ketiga, Wawan Ridwan pada periode 2018-2020 didakwa telah melakukan beberapa perbuatan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Asal usulnya adalah berasal dari "fee" para wajib pajak yaitu senilai 606.250 dolar Singapura atau sekitar Rp6,47 miliar.
Atas penerimaan tersebut, Wawan melakukan pertama, pembelian mobil Honda a Jazz 1.5 RS CVT MMC warna Crystal Black Pearl senilai Rp262,5 juta pada 24 April 2018 yang pembeliannya dilakukan oleh anak Wawan yaitu Feyzra Akmal Maulana.
Kedua, pembelian 2 bidang tanah serta bangunan seluas 101 dan 199 meter persegi di kota Bandung pada Oktober 2018 senilai total Rp2,8 miliar.
Ketiga, pembelian rumah di Tangerang pada 16 Februari 2019 senilai Rp1,3 miliar yang penandatangannya dilakukan Feyza Akmal Maulana.
Keempat, pembelian tanah di Rankasbitung seluas 374 meter persegi pada 2019 senilai Rp252.450.000.
Kelima, pembelian satu mobil Honda CRV Turbo 1.5 Prestige Warna Crystal Black Pearl senilai Rp509,3 juta pada 7 Februari 2020.
Terakhir, dalam dakwaan keempat, Wawan Ridwan bersama dengan sangk anak Muhammad Farsha Kautsar pada April 2018-Agustus 2020 didakwa melakukan pencucian uang. Uang yang diduga berasal dari tindak pidana itu berasal dari uang suap serta gratifikasi senilai total Rp1.036.250.000, 71.250 dolar Singapura dan uang setara Rp625 juta dalam bentuk dolar AS serta dari wajib pajak lainnya sejumlah Rp6.446.847.500.
Uang itu lalu diubah bentuknya dengan cara pertama, menukarkan penerimaan uang dalam bentuk mata uang asing ke mata uang rupiah atas nama Muhammad Farsha Kautsar senilai Rp8.888.830.000.
Kedua, memindahkan ke rekening M Farsha Kautsar pada 28 januari 2019-29 April 2019 senilai Rp1.204.473.500.
Ketiga, membeli jam tangan pada 5 April 2019 - 25 Juli 2019 senilai total Rp888.830.000.
Keempat, membeli 1 unit mobil Oulander Mercedes Benz C300 Coupe senilai Rp1.379.105.000
Kelima, membeli tiket dan hotel sebesar Rp987,289,803.
Keenam, membeli valuta asing sebesar Rp300 juta pada 23 Mei 2019.
Ketujuh, mentransfer kepada Adinda Rana Fauziah pada Januari 2019-Maret 2021 senilai Rp39.186.927 dan kepada Bimo Edwinanto sejumlah Rp296 juta selaku teman M Farsha Kautsar
Kedelapan, mentransfer beberapa kali kepada ian Nurcahyo Dwi Purnomo dan keluarganya untuk kepentingan usaha Wawan dan M Farsha Kautsar senilai Rp509.180.000 pada 7 Februari 2019 - 9 Desember 2020.
Kesembilan, mentransfer sebanyak 21 kali kepada Siwi Widi Purwanti selaku teman dekat Muhammad Farsha Kautsar pada 8 April 2019-23 Juli 2019 senilai Rp647.850.000
Siwi Widi Purwanti diketahui adalah eks pramugari Garuda Indonesia yang pernah viral pada 2020 lalu.
JPU KPK M Asri Irwan membenarkan bahwa Siwi Widi dalam surat dakwaan adalah mantan pramugari Garuda Indonesia.
"Benar mantan pramugari (Garuda Indonesia)," kata jaksa Asri usai persidangan sidang.
Ia juga mengatakan Siwi dan sejumlah saksi lain akan dipanggil dalam sidang.
"Yang bersangkutan akan panggil, saksi yang dipanggil banyak, ada sekitar berapa puluh," tambah jaksa Asri.
Nama Siwi Widi Purwanti sempat viral pada 2020 lalu karena disebut-sebut punya relasi dengan salah satu petinggi Garuda Indonesia oleh akun @digeeembok. Namun Siwi sudah membantah tudingan tersebut.
Terhadap dakwaan ketiga dan keempat, JPU KPK mengenakan pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Pasal itu mengatur soal pencucian uang aktif dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp10 miliar.
Atas dakwaan tersebut, Wawan tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) sedangkan Alfred mengajukan eksepsi pada 2 Februari 2022.
Keduanya didakwa menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama dan selanjutnya Wawan Ridwan serta anaknya bernama Muhammad Farsha Kautsar didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang.
Untuk dakwaan pertama, yaitu penerimaan suap, Wawan dan Alfred yang saat ini masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu didakwa menerima suap dari sejumlah wajib pajak masing-masing 606.250 dolar Singapura (sekitar Rp6,47 miliar).
"Terdakwa I Wawan Ridwan dan terdakwa II Alfred Simanjuntak masing-masing sebagai pemeriksa pajak madya pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bersama-sama Anging Prayitno Aji, Dadan Ramdani, Yulmanizar dan Febrian menerima uang seluruhnya Rp15 miliar dan 4 juta dolar Singapura dimana para terdakwa menerima masing-masing sebesar 606.250 dolar Singapuraagar merekayasa hasil perhitungan pajak," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK M Asri Irwan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (27/1).
Angin Prayitno Aji adalah Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP periode 2016-2019, Dadan Ramdani selaku Kepala Sub Direktorat Kerjasama dan Dukungan Pemeriksaan DJP periode 2016-2019, sedangkan Yulmanizar dan Febrian selaku Tim Pemeriksa Pajak pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan DJP pada Januari 2018-September 2019.
Penerimaan suap tersebut diduga berasal dari pertama, konsultan pajak PT Gunung Madu Plantations sebesar 750 ribu dolar Singapura atau setara Rp7,5 miliar terkait pemeriksaan PT GMP tahun pajak 2016.
Kedua, dari kuasa Bank Pan Indonesia (Panin) Veronika Lindawati sebesar Rp5 miliar terkait pemeriksaan pajak tahun 2016.
Ketiga, dari konsultan pajak PT Jhonlin Baratama sebesar Rp35 miliar terkait pemeriksaan pajak tahun pajak 2016 dan 2017.
Atas perbuatannya, Wawan dan Alfred didakwa dengan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo padal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Dalam dakwaan kedua, yaitu dakwaan dugaan penerimaan gratifikasi Wawan Ridwan dan Alfred Simanjuntak didakwa mendapat gratifikasi masing-masing Rp1,931 miliar, 71.250 dolar Singapura (sekitar Rp759,67 juta), tiket pesawat sebesar Rp594,9 juta dan hotel senilai Rp448 ribu. Gratifikasi itu berasal dari 9 wajib pajak.
Pertama, gratifikasi dari PT Sahung Brantas Energi sebesar Rp400 juta dengan Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp80 juta.
Kedua, gratifikasi dari PT Rigunas Agri Utama totalnya Rp650 juta dengan Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp168.750.000
Ketiga, gratifikasi dari CV Perjuangan Steel (PS) totalnya Rp5 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp625 juta.
Keempat, gratifikasi dari PT Indolampung Perkasa totalnya Rp2,5 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp800 juta
Kelima, gratifikasi dari PT Esta Indonesia totalnya Rp4 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp450 juta.
Keenam, gratifikasi dari wajib pajak Ridwan Pribadi sebesar Rp1,5 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp187.500.000
Ketujuh, gratifikasi dari PT Walet Kembar Lestari senilai Rp1,2 miliar dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp150 juta.
Kedelapan, gratifikasi dari PT Link Net senilai Rp700 juta dimana Wawan dan Alfred menerima masing-masing Rp87,5 juta.
Kesembilan, gratikasi dari PT Gunung Madu Plantations berupa tiket pesawat senilai Rp595.900 dan hotel Rp448 ribu.
"Terhadap penerimaan gratifikasi berupa sejumlah uang dan fasilitas tersebut di atas, para terdakwa tidak melaporkannya kepada KPK dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana ditentukan undang-undang, padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum," tambah jaksa.
Wawan dan Alfred pun didakwa pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo padal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Ancaman pidana penerimaan gratifikasi yaitu 4 sampai 20 tahun penjara dan denda dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Dakwaan ketiga, Wawan Ridwan pada periode 2018-2020 didakwa telah melakukan beberapa perbuatan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Asal usulnya adalah berasal dari "fee" para wajib pajak yaitu senilai 606.250 dolar Singapura atau sekitar Rp6,47 miliar.
Atas penerimaan tersebut, Wawan melakukan pertama, pembelian mobil Honda a Jazz 1.5 RS CVT MMC warna Crystal Black Pearl senilai Rp262,5 juta pada 24 April 2018 yang pembeliannya dilakukan oleh anak Wawan yaitu Feyzra Akmal Maulana.
Kedua, pembelian 2 bidang tanah serta bangunan seluas 101 dan 199 meter persegi di kota Bandung pada Oktober 2018 senilai total Rp2,8 miliar.
Ketiga, pembelian rumah di Tangerang pada 16 Februari 2019 senilai Rp1,3 miliar yang penandatangannya dilakukan Feyza Akmal Maulana.
Keempat, pembelian tanah di Rankasbitung seluas 374 meter persegi pada 2019 senilai Rp252.450.000.
Kelima, pembelian satu mobil Honda CRV Turbo 1.5 Prestige Warna Crystal Black Pearl senilai Rp509,3 juta pada 7 Februari 2020.
Terakhir, dalam dakwaan keempat, Wawan Ridwan bersama dengan sangk anak Muhammad Farsha Kautsar pada April 2018-Agustus 2020 didakwa melakukan pencucian uang. Uang yang diduga berasal dari tindak pidana itu berasal dari uang suap serta gratifikasi senilai total Rp1.036.250.000, 71.250 dolar Singapura dan uang setara Rp625 juta dalam bentuk dolar AS serta dari wajib pajak lainnya sejumlah Rp6.446.847.500.
Uang itu lalu diubah bentuknya dengan cara pertama, menukarkan penerimaan uang dalam bentuk mata uang asing ke mata uang rupiah atas nama Muhammad Farsha Kautsar senilai Rp8.888.830.000.
Kedua, memindahkan ke rekening M Farsha Kautsar pada 28 januari 2019-29 April 2019 senilai Rp1.204.473.500.
Ketiga, membeli jam tangan pada 5 April 2019 - 25 Juli 2019 senilai total Rp888.830.000.
Keempat, membeli 1 unit mobil Oulander Mercedes Benz C300 Coupe senilai Rp1.379.105.000
Kelima, membeli tiket dan hotel sebesar Rp987,289,803.
Keenam, membeli valuta asing sebesar Rp300 juta pada 23 Mei 2019.
Ketujuh, mentransfer kepada Adinda Rana Fauziah pada Januari 2019-Maret 2021 senilai Rp39.186.927 dan kepada Bimo Edwinanto sejumlah Rp296 juta selaku teman M Farsha Kautsar
Kedelapan, mentransfer beberapa kali kepada ian Nurcahyo Dwi Purnomo dan keluarganya untuk kepentingan usaha Wawan dan M Farsha Kautsar senilai Rp509.180.000 pada 7 Februari 2019 - 9 Desember 2020.
Kesembilan, mentransfer sebanyak 21 kali kepada Siwi Widi Purwanti selaku teman dekat Muhammad Farsha Kautsar pada 8 April 2019-23 Juli 2019 senilai Rp647.850.000
Siwi Widi Purwanti diketahui adalah eks pramugari Garuda Indonesia yang pernah viral pada 2020 lalu.
JPU KPK M Asri Irwan membenarkan bahwa Siwi Widi dalam surat dakwaan adalah mantan pramugari Garuda Indonesia.
"Benar mantan pramugari (Garuda Indonesia)," kata jaksa Asri usai persidangan sidang.
Ia juga mengatakan Siwi dan sejumlah saksi lain akan dipanggil dalam sidang.
"Yang bersangkutan akan panggil, saksi yang dipanggil banyak, ada sekitar berapa puluh," tambah jaksa Asri.
Nama Siwi Widi Purwanti sempat viral pada 2020 lalu karena disebut-sebut punya relasi dengan salah satu petinggi Garuda Indonesia oleh akun @digeeembok. Namun Siwi sudah membantah tudingan tersebut.
Terhadap dakwaan ketiga dan keempat, JPU KPK mengenakan pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Pasal itu mengatur soal pencucian uang aktif dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp10 miliar.
Atas dakwaan tersebut, Wawan tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) sedangkan Alfred mengajukan eksepsi pada 2 Februari 2022.