Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mendukung langkah pemerintah untuk melanjutkan pelarangan ekspor batu bara di tengah aksi protes para pengusaha dan sejumlah negara yang menentang kebijakan itu.
"Kalau larangan ekspor batu bara tidak diberlakukan menyebabkan PLN menaikkan tarif listrik..., akan semakin memberatkan beban rakyat," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Fahmy menyampaikan rasa prihatin terkait batu bara domestik, karena komoditas ini seharusnya bisa memakmurkan rakyat justru kondisi sebaliknya malah memberatkan rakyat.
Dia menegaskan agar suara-suara lantang yang mendukung larangan ekspor batu bara terus ada demi keberlanjutan larangan ekspor batu baru agar tetap berlaku hingga pengusaha batu bara memenuhi ketentuan persentase penjualan untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
Per 1-31 Januari 2022, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan telah membekukan izin ekspor 490 perusahaan batu bara dari total 619 perusahaan batu bara di Indonesia karena mereka tidak memenuhi DMO.
Bahkan dari jumlah itu sebanyak 418 perusahaan batu bara tidak pernah menjalankan komitmen DMO terhitung sejak Januari hingga Oktober 2021. Mereka terus mengeruk batu bara yang digali dari tambang-tambang di Indonesia, lalu menjualnya ke luar negeri dan tidak pernah memenuhi ketentuan DMO.
Fahmy menjelaskan kebijakan larangan ekspor batu bara tersebut dipicu oleh tidak dipenuhinya DMO yang mewajibkan pengusaha untuk memasok batu bara ke PLN sebesar 25 persen dari total produksi per tahun dengan harga 70 dolar AS per metrik ton.
Menurut dia, meskipun ada denda bagi pengusaha batu bara yang tidak memenuhi ketentuan DMO, namun dendanya sangat kecil.
"Pada saat harga batu bara membumbung, pengusaha memilih membayar denda untuk lebih mendahulukan ekspor seluruh produksi batu bara ketimbang memasok kebutuhan batu bara PLN sesuai ketentuan DMO," ujarnya.
Kalau kebutuhan PLN tidak segera dipenuhi berpotensi menyebabkan 20 PLTU batu bara dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan terjadi pemadaman.
Alternatifnya, PLN membeli batu bara di pasar dengan harga sebesar 196 dolar AS per metrik ton. Namun, alternatif ini menyebabkan harga pokok penyediaan listrik (HPP) PLN membengkak yang dapat membuat PLN terpaksa menaikkan tarif listrik untuk mencegah kebangkrutan.
"Kenaikan tarif listrik sesuai harga keekonomian sudah pasti akan menaikkan inflasi yang makin memberatkan beban rakyat dan memperburuk daya beli masyarakat," jelas Fahmy.
Sejumlah negara mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut larangan ekspor batu bara.
Kebijakan tersebut tidak hanya melambungkan harga batu bara dunia hingga mendekati 200 dolar AS per metrik ton, tetapi juga mengancam keberlangsungan pembangkit listrik yang menggunakan energi primer batu bara di berbagai negara.
Dalam keterangan menjelang pelarangan ekspor batu bara, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa batu bara merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih lanjut Fahmy menilai kebijakan larangan ekspor batu bara merupakan wujud semangat nasionalisme dalam mempertahankan sumber daya alam demi kemakmuran rakyat.
"Selain untuk mendahulukan kepentingan dalam negeri juga untuk mengontrol kekayaan alam agar kekayaan alam dapat dimanfaatkan sebesarnya bagi kemakmuran rakyat," katanya.
Ekonom UGM dukung pemerintah lanjutkan larangan ekspor batu bara, kenapa?
"Pada saat harga batu bara membumbung, pengusaha memilih membayar denda untuk lebih mendahulukan ekspor seluruh produksi batu bara ketimbang memasok kebutuhan batu bara PLN sesuai ketentuan DMO,