Tropenbos: Belum Ada Kepastian Hukum Pengelolaan Hutan

id tropenbos belum, ada kepastian, hukum pengelolaan hutan

Tropenbos: Belum Ada Kepastian Hukum Pengelolaan Hutan

Pekanbaru, (antarariau.com) - Direktur Program Tropenbos Indonesia, Petrus Gunarso, mengatakan hingga kini pemerintah Indonesia dinilai belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum terkait lahan untuk pengelolaan hutan yang sejalan dengan kepentingan bisnis dan konservasi.

"Di satu sisi pemerintah ingin melakukan moratorium hutan, tapi hutan primer yang masih bagus tetap dialokasikan untuk perusahaan. Dan ketika itu digarap oleh perusahaan, maka akan berdampak pada degradasi lingkungan yang memunculkan sentimen negatif dari dunia internasional," kata Petrus ketika dihubungi Antara dari Pekanbaru, Rabu.

Petrus memaparkan hal itu merujuk pada tiga revisi dari Kementerian Kehutanan terhadap peta moratorium hutan atau Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB). Dari luas hutan moratorium yang semula mencapai sekitar 69,1 juta hektar (ha), kini menurun jadi sekitar 64,7 ha pada revisi PIPIB ketiga. Pada revisi ketiga terjadi pengurangan sekitar 485.655 ha areal hutan yang keluar dari bagian moratorium.

Menurut Petrus, jumlah hutan moratorium secara total memang mencapai 30 persen dari seluruh daratan di Indonesia. Namun, jumlah itu tidak tersebar secara proporsional sehingga hutan primer yang dimoratorium disebagian wilayah berada pada ambang berbahaya.

Contohnya seperti kondisi hutan di Sumatera, yang totalnya hanya menyisakan 5,4 juta ha untuk moratorium. Menurut dia, luasan hutan yang seharusnya dilindungi (undisturbe forest) terus menurun hingga hanya 11 persen dari luas daratan di Sumatera. Sebaliknya hingga 2010, lanjutnya, areal hutan tanaman industri di Sumatera sudah mencapai 1,29 juta ha dan kebun kelapa sawit mencapai 4,7 juta ha.

"Saya memberi warna merah atau berbahaya bagi kondisi hutan di Sumatera karena terus menurun tinggal 11 persen," katanya.

Contoh lebih spesifik bisa dilihat dari kasus hutan rawa gambut Semenanjung Kampar di Provinsi Riau yang terus menimbulkan polemik yang menyulitkan investasi disektor kehutanan. Dalam peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Nasional tahun 2008, kawasan itu dilindungi karena masuk kawasan lindung. Sebabnya, lahan gambut dikawasan itu memiliki kedalaman beragam hingga ada kubah gambut yang mencapai lebih dari 15 meter.

"Namun, pada kenyataannya, Kementerian Kehutanan sudah membagi kawasan itu habis untuk 22 perusahaan," ujarnya.

Padahal, ia mengatakan seharusnya ada 235,5 ribu ha atau setara dari 35 persen kawasan itu dilindungi karena memiliki nilai konservasi tinggi bagi keanekaragaman hayati serta penyimpan karbon alami.

Kekeliruan pemerintah, lanjutnya, terlihat dari status kawasan Semenanjung Kampar pada peta moratorium revisi ketiga yang justru hanya menyisakan sebagian kecil hutan primer untuk dilindungi.

"Bahkan dalam peta PIPIB tiga, areal kubah gambut malah tidak dilindungi sebagai kawasan untuk moratorium. Hutan primer yang seharusnya dilindungi dan dimoratorium adalah yang kini luasannya semakin menyempit di semua pulau besar di Indonesia, tapi justru tidak secara signifikan dilindungi dalam PIPIB," kata Petrus.

Perkembangan bisnis hutan tanaman industri dan kebun kelapa sawit akibatnya akan terkendala dengan permasalahan kepastian lahan dan pengukuhan hutan itu.

Secara terpisah, Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin mengatakan pihaknya memang merasa kurangnya kepastian hukum dalam industri kehutanan. Namun, ia menyatakan operasional perusahaan dalam industri kehutanan di Provinsi Riau tetap mengikuti aturan hukum yang berlaku, serta manajemen perlindungan terhadap kawasan bernilai konservasi tinggi.

"Bisa dilihat kami tetap melindungi pohon dan area hutan bernilai konservasi tinggi menggunakan tanaman akasia bagaikan sebuah cincin sehingga tetap terjaga kelestariannya," kata Kusnan.

Sedangkan, General Manajer PT Asian Agri Freddy Widjaya mengatakan perusahaan memilih tidak menargetkan perluasan kawasan kebun kelapa sawit inti sambil menunggu kepastian hukum terlait lahan di Riau. Keputusan itu, lanjutnya, diambil karena tidak ingin ada permasalahan hukum dikemudian hari, meski dampaknya produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tidak bertambah dari angka satu juta metri ton per tahun.

"Mencari lahan untuk ekspansi sekarang sangat sulit, apalagi selama belum ada kepastian terhadap lahan, khususnya akibat belum selesainya RTRW Provinsi Riau," kata Freddy.