Pekanbaru (ANTARA) - Praktisi psikologi Universitas Islam Riau Sultan Syarif Kasim II Indah Damayanti mengatakan pelecehan seksual banyak jenisnya, tidak hanya bersifat non verbal, namun juga bersifat verbal.
"Pelecehan itukan banyak jenisnya, dari disiul atau digoda itu udah termasuk pelecehan. Cara dia menatap si korban dari atas sampai bawah itu sudah termasuk pelecehan. Termasuk, memegang area tertentu, sampai memaksa korban untuk berhubungan intim," ujar Indah Damayanti saat ditemui di Fakultas Psikologi UIN Suska Riau belum lama ini.
Indah juga mengatakan, biasanya korban pelecehan seksual sulit mengungkapkan yang sudah mereka alami karena adanya perasaan malu hingga syok sehingga membuatnya tidak berani untuk mengungkapkannya dan terkesan memendam saja.
"Biasanya korban gak mau bilang karena malu. Tapi kalau korban sudah sampai merasakan hal yang serius seperti merasa tertekan, bersedih atau merasa buruk terhadap dirinya. Korban sudah harus mendapatkan bantuan, mungkin bisa dimulai dengan cerita dulu ke orangtuanya atau ke orang terdekatnya nanti biasanya orang tua akan membawa anaknya ke psikolog," kata dosen berjilbab ini.
Indah menambah cara kerja psikolog menangani trauma bagi korban pelecehan dengan tidak terlalu memaksa korban untuk bercerita secara detail. Psikolog biasanya hanya melihat dan mengenali kondisi psikologis dari korban.
Baca juga: Dosen terduga pelaku pelecehan bungkam usai diperiksa di Polda Riau
"Biasanya korban pelecehan itu akan merasa yang telah terjadi terhadap dirinya adalah salah dirinya. Merasa dirinya gak bener. Padahal sebenarnya hal itu terjadi karena salah pelaku bukan salah korban. Karena setertutup apapun pakaian korban tidak menutup kemungkinan korban tidak akan dilecehkan," lanjut Indah.
Indah mengatakan dalam kasus pelecehan seksual, biasanya psikolog akan memfokuskan mengenai pemikiran korban terhadap dirinya. Jangan sampai korban merasa hal ini terjadi karena salah dirinya dan diluruskan kembali kalau hal itu terjadi karena salah pelaku.
"Biasanya korban pelecehan akan merasa bahwa, 'Saya itu udah ga bener, udah kotor, atau apalah,'. Jadi pikirannya udah negatif atas dirinya sendiri. Itu yang kita kembalikan pikirannya lagi bahwa itu tidak benar. Itu namanya cognitive behavioral therapy. Jadi, kita lenyapkan pikiran yang salah dan kita luruskan dalam terapi tersebut," jelas Indah.
Baca juga: Ketua Umum Kowani sebut pelecehan di Universitas Riau coreng dunia pendidikan
Respons keluarga
Selain itu, lanjutnya, dukungan keluarga juga dibutuhkan dalam proses penyembuhan traumatik korban. Keluarga tidak boleh terlalu menyangkal bahwa kejadian itu sudah terjadi dan juga tidak boleh terlalu merespons berlebihan terhadap kejadian yang sudah terjadi.
"Jadi ada dua respons dari keluarga yang salah. Pertama, kadang keluarga akan berusaha menyangkal hal itu terjadi atau seperti pura-pura jika hal tersebut tidak pernah terjadi. Satu lagi, keluarga akan merespons berlebihan seperti, 'Aduh kasihan anakku. Bagaimana masa depan anakku'. Itu juga respons yang tidak sehat dari keluarga. Jadi keluarga juga perlu kita terapi juga untuk memberikan respons yang tepat. Jadi dapat memberikan respons emosional tapi tidak berlebihan karena harus sama-sama kuat. Jadi selain korban, keluarganya juga kita terapi," papar Indah.
Indah mengatakan faktor penunjang penyembuhan yang pertama itu adalah korban sendiri, bagaimana karakteristik korban sebelum kejadian tersebut terjadi. Sebelumnya dia orang yang seperti apa. Maksudnya di sini ialah pola pikir dan kepribadiannya seperti apa. Kalau dia memang orang yang pendiam, kurang bisa membela diri, itu memang cukup lama penanganannya.
Baca juga: Viral, mahasiswi Universitas Riau mengaku dilecehkan dosen
"Tapi kecenderungan yang menjadi korban pelecehan itu adalah orang-orang yang introvert. Jadi, biasanya pelaku melihat karakteristik korbannya karena kemungkinan korban tak berani melawan. Tapi mungkin kalau korbannya ekstrovert akan melawan dan merespons, 'Apa ni pegang-pegang'. Jadi biasanya yang mendukung cepat penyembuhan ini korbannya tipikal yang terbuka, lebih ceria, lebih banyak teman, lebih mudah mengungkapkan isi hati. Tapi, rata-rata korbannya memang yang tertutup dan pasif itu memang butuh waktu. Tapi kalau dengan penanganan yang tepat, dukungan keluarga dan juga ada teman-teman, itu juga menjadi faktor penyembuh," jelas Indah.
Untuk kasus pelecehan seksual di lingkungan akademik, Indah berharap pelaku dapat ditindak tegas, paling tidak dipecat jadi pelaku tidak bisa lagi bertemu dengan korban bahkan mahasiswa lain. Tapi untuk korban kembali ke kampus atau lokasi kejadian yang menyebabkan ia trauma itu memang harus pelan-pelan.
"Karena memang penyembuhan itu bertahap. Yang namanya trauma pasti butuh waktu untuk pulih dan itu berbeda tiap orang kecepatan untuk pulih," tutup Indah.
Terkait pelecehan di kampus, ini kata praktisi psikologi
Pelaku dapat ditindak tegas. Paling tidak dipecat, jadi pelaku tidak bisa lagi bertemu dengan korban bahkan mahasiswa lain,